IKA UNS: Kedaulatan Pangan Bukan Khayalan

UNS – “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” begitulah potongan lirik lagu yang berjudul Kolam Susu yang dinyanyikan oleh Koes Plus. Lagu ini menggambarkan tentang kesuburan Indonesia yang tidak ada duanya. Segala jenis tanaman dapat tumbuh di Indonesia, tidak heran jika Indonesia mendapat gelar sebagai Negara agraris. Satu bukti Indonesia tanah surga adalah ketika Indonesia mencapai swa sembada beras pada masa Orde Baru. Lalu apa kabar hari ini?

Pembicara Kedaultaan Pangan Bukan Khayalan
Pembicara Kedaultaan Pangan Bukan Khayalan

Ikatan Keluarga Alumni Universitas Sebelas Maret (IKA UNS) Surakarta mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menggelar sebuah seminar Sharing On Excelent. Acara yang mengangkat tema ”Kedaulatan Pangan Bukan Khayalan” ini diadakan di Ruang Sidang II gedung Rektorat UNS pada Sabtu (10/03/2018). Empat pembicara diminta mengupas tuntas permasalahan ini, mereka adalah Tardi (Direktur Retail Banking Bank Mandiri), Jumadi (Ketua Umum IKA UNS Jawa Timur dan Walikota Kediri), Arief Budisusilo (Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia), dan Joko Sutrisno (Wakil Dekan II Fakultas Pertanian UNS).

Berbicara tentang pertanian, Arif menjelaskan bahwa bukan hanya beras yang menjadi bahasan, tapi berbagai sektor pertanian lain seperti kopi, sawit, dan jagung juga menjadi sorotan. Dari sektor-sektor ini lah Indonesia mendapatkan investasi ekonomi yang besar untuk kelangsungan hidup bangsa. Namun apabila kita melihat kepada faktanya sekor pertanian Indonesia jalan di tempat. Porsi kontribusi dari sektor ini terhadap Gross Domestic Product (GDP) yang pada awalnya 60% pada era 1970-1980-an menurun hingga mencapai 17% dewasa ini.

Berbagai alasan dapat menjadi penyebabnya, seperti penyempitan lahan. Jumaidi menyampaikan bahwa lahan pertanian di Jawa Timur mengalami penyempitan  setiap tahunnya dikarnakan pembangunan gedung-gedung.

“Di Jawa Timur, 1100 hektar lahan pertanian mutasi tiap tahunnya”, kata Jumadi.

Selain kurangnya penyempitan lahan, tidak adanya lembaga yang memayungi para petani juga membuat lemahnya pertanian Indonesia. Tardi mengungkapkan bahwa adanya suatu kelembagaan dirasa sangat perlu untuk meningkatkan produktifitas petani Indonesia.

“Coba kita bayangkan dalam suatu kecamatan ada 10.000 petani dan menjadi satu kelaster petani padi, dengan itu kita bisa tahu siapa, punya lahan berapa, di daerah mana, coba kelembagaan kita yang punya data itu siapa? Nggak ada. Pak Budi dia disana luasanya sekian, kondisi tanahnya cocoknya begini, pengaiarannya palong bagus begini, paling cocok dtanami bulan apa. Kelembagaan yang mengetahui hal itu kita nggak ada”, jelas Tardi.

Terkait kelembagaan dan manajemen pertanian, Joko juga menjelaskan nahwa petani Indonesia baru bisa menanam tapi belum bisa memperoses.

“Tenaga kita habis untuk menumbuhkan padi, tapi lupa mengelola proses dari padi ke beras”, kata Joko.

Melihat problematika pertanian yang terjadi, perlu dibuat sebuah inovasi yang dapat membantu para petani Indonesia. Adanya manajemen, kelembagaan, hukum tata ruang yang mengatur lahan, perlu lebih ditingkatkan agar kedaulatan pangan di Indonesia benar-benar bukan khayalan. Humas. Red-uns/Imr/Isn

Skip to content