Isi Diskusi Bersama Himapsi FK UNS, Psikolog UNS: Catcalling Berbeda dengan Pujian

Isi Diskusi Bersama Himapsi FK UNS, Psikolog UNS: Catcalling Berbeda dengan Pujian

UNS — Himpunan Mahasiswa Psikologi (Himapsi) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta selenggarakan diskusi daring bertajuk Psychodiscuss pada Jumat (7/5/2021). Mengangkat tema “You Can’t Compliment Me by Catcalling” diskusi ini membahas perilaku catcalling, salah satu perilaku pelecehan seksual yang marak terjadi di masyarakat. Diskusi daring dilaksanakan melalui Zoom Cloud Meeting dan diikuti lebih dari 30 peserta. Berliana Widi Scarvanovi, M.Psi., Psikolog, selaku Dosen Program Studi (Prodi) Psikologi FK UNS hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini.

Berliana mendefinisikan catcalling sebagai suatu bentuk pelecehan yang mana termasuk kedalam pelecehan seksual. Terdapat beragam bentuk perilaku catcalling yang marak dilakukan pihak tidak bertanggung jawab meliputi komentar bermuatan unsur seksual yang tidak diinginkan, isyarat provokatif, wolf-whistling, hingga pembunyian klakson kendaraan. Menurutnya, catcalling ini sering terjadi di tempat umum seperti transportasi umum, jalan raya, dan pusat perbelanjaan.

Tekankan adanya perbedaan antara catcalling dengan pujian, Berliana menjelaskan bahwa ada perbedaan energi yang disampaikan antara pihak yang sedang memuji dengan pihak yang melakukan catcalling. Ketika seseorang menyampaikan suatu pujian, terdapat energi positif yang disampaikan sehingga menciptakan suatu perasaan positif bagi pihak yang dipuji. Berbeda dengan pujian, catcalling mendorong menciptakan energi yang negatif.

“Karena ada unsur seksual yang didorong kepada orang lain. Itu menyebabkan adanya energi yang sangat negatif. Itu sebab kita menerimanya secara negatif. Kita tidak menganggap itu sebagai suatu yang positif. Jadi enggak bisa disamakan antara catcalling dengan pujian karena energinya sudah sangat berbeda sekali,” jelas Berliana.

Berliana juga menyoroti faktor anonimitas menjadi salah satu faktor pendorong orang-orang melakukan perilaku catcalling. Mereka dinilai semakin merasa bebas melakukan catcalling apabila semakin anonim. Adapun faktor lain yang semakin ‘melanggengkan’ perilaku catcalling seperti tidak ada perlawanan oleh korban, adanya Bystander-effect, norma, dan deindividuasi.

Bagi Berliana, perilaku catcalling memang tidak menimbulkan dampak yang besar pada korban. Namun, apabila seseorang menerima catcalling secara terus-menerus tentu akan menjadi potensi munculnya distress psikologis tertentu. Dampak buruk yang mungkin muncul berkenaan dengan citra diri dan kepercayaan diri.

“Dia jadi mempertanyakan tentang dirinya sendiri, merasa tidak percaya diri, atau berkaitan dengan citra dirinya yang menjadi buruk. Itu adalah dampak-dampak yang cukup parah ketika catcalling ini dilakukan dengan frekuensi yang cukup tinggi dan intensitasnya juga cukup tinggi,” ungkap Berliana.

Adapun hal-hal yang dapat dilakukan sebagai upaya preventif dalam mencegah munculnya perilaku catcalling pada seseorang. Salah satunya adalah parenting yang baik oleh orang tua kepada anak. Tidak hanya berfokus untuk anak perempuan saja, namun penting juga untuk anak laki-laki. Adanya perilaku saling menghormati serta empati yang perlu dibentuk menjadi dasar yang baik sebagai upaya mudah dalam pencegahan. Memposisikan diri sebagai korban serta menyadari bahwa suatu hal yang normal belum tentu benar menjadi hal lain yang dapat dilakukan.

Berliana menganjurkan beberapa hal yang bisa dilakukan bagi para korban perilaku catcalling. Korban dapat stands up dengan menjelaskan bahwa catcalling bukan merupakan perilaku yang baik. Namun, hal tersebut perlu mengingat situasi yang sedang terjadi. Situasi yang tidak mendukung untuk stands up akan berpotensi memunculkan perilaku yang lebih berbahaya oleh pelaku. Hal lain yang dapat dilakukan adalah meminta pertolongan kepada orang lain atau tidak sendirian apabila berpergian. Humas UNS

Reporter: Rangga Pangestu Adji
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content