Search
Close this search box.

Kasus Cultural Appropriation Antara Korsel dan China, Berikut Tanggapan Guru Besar UNS

UNS — Upacara pembukaan olimpiade musim dingin di Beijing yang telah diselenggarakan beberapa waktu lalu menuai beragam sorotan. China sebagai tuan rumah kala itu menampilkan berbagai baju tradisional China yang sekilas mirip dengan hanbok ala baju tradisional dari Korea Selatan. Hal ini membuat Korea Selatan menuding China melakukan cultural appropriation terhadap budayanya. Masalah yang menimpa antara Korea Selatan dan China ini juga serupa dengan Malaysia yang dituding mengklaim batik asal Indonesia. Lantas, benarkah ini termasuk ke dalam cultural appropriation?

Menanggapi hal ini Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Warto, M.Hum mengatakan, agak problematis memang ketika langsung mengatakan terjadi cultural appropriation. Sebab, budaya secara alamiah masih menyebar. Proses menyebarnya ini akan mempertemukan kebudayaan pendatang atau asing dengan kebudayaan lokal dan berakibat memunculkan reaksi menolak atau menerima. Cultural appropriation bukanlah fenomena yang baru saja terjadinya. Melainkan sudah sejak awal peradaban. Ini termasuk proses budaya. Pada artinya proses yang menggambarkan kebudayaan itu terus berubah dan terjadi secara alamiah.

“Kasus cultural appropriation antara Korea Selatan dan China, saya kira harus dilihat konteknya terlebih dahulu. Tidak bisa istilah tersebut diberlakukan secara general. Masalah cultural appropriation harus dilihat secara cermat. Apakah itu sekadar peniruan, atau benar perampasan, atau bahkan sebuah apresiasi budaya,” terang Prof. Warto, Sabtu (19/2/2022).

Saat ini, lanjut Prof. Warto banyak anak muda di Indonesia yang meniru budaya Korea. Meniru dari segi tampilan fisik, gaya rambut, gaya bicara. Tapi, apakah itu sudah bisa dianggap cultural appropriation? Belum tentu. Kecuali jika sudah mulai mengaku-ngaku.

Prof. Warto menambahkan, kasus yang menimpa Korea Selatan dan China ini harus dilihat konteksnya seperti apa. Misalnya saja masalah kebudayaan Reog Ponorogo yang diklaim oleh Malaysia. Padahal, jika ditelisik yang mengembangkan kebudayaan tersebut di Malaysia adalah masyarakat diaspora yang sedang mencari nafkah di sana. Jadi, wajar saja jika memiliki kemiripan. Namun, yang menjadi tidak wajar ketika Malaysia mengakui bahwa itu kebudayaan asalnya dan melupakan sejarah awalnya yang berasal dari Indonesia, itu yang menjadi persoalan. Maka, harus diurai secara cermat.

Terakhir Prof. Warto berpesan sebagai sivitas akademika UNS, sudah seharusnya bersikap dewasa dalam menyikapi masalah seperti ini. “Melihat dahulu pendakuan mereka seperti apa. Kalau sekadar menghargai itu tidak masalah. “Lihatlah fenomena cultural appropriation secara cermat. Sebelum memberikan penilaian bahwa itu merupakan sebuah perampasan atau pengingkaran dari pemilik kebudayaan aslinya,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Lina Khoirun Nisa
Editor: Dwi Hastuti

Scroll to Top
Skip to content