Kebiasaan yang Perlu Dibangun untuk Hidup dan Diri Seimbang

UNS — Seorang Psikolog Klinis, Ega Asnatasia Maharani, S.Psi., M.Psi., mengulik topik “A Balance Life Full of Well-Being” dalam “Charity Webinar Diamond 2K21”. Yakni webinar yang digelar Kasrat de Geneskundee Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) pada Minggu (30/5/2021).

Ega mengibaratkan kehidupan yang seimbang itu seperti naik sepeda. Ketika naik sepeda, agar dapat seimbang tentu caranya ialah dengan mengayuh terus pedal sepeda tersebut. Adakalanya harus berhenti, harus melewati belokan tajam, bahkan jatuh.

Begitu juga hidup yang seimbang, wujudnya adalah cara pikir dan sikap yang kita terapkan secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ega, ada beberapa habits atau kebiasaan yang perlu dibangun dan dilakukan terus menerus sehingga hidup dapat seimbang.

Poin pertama, hiduplah secara penuh, integrasikan aspek yang satu dengan aspek yang lain dalam hidup kita. Contoh, mengerjakan tugas bukan hanya tentang menjalankan kewajiban. Akan tetapi, memandang tugas itu sebagai media agar kita dapat berkembang kepribadiannya dan media yang membantu melatih cara berpikir kita.

Poin berikutnya, adaptasi dengan beragam keadaan, tapi tidak perlu selalu menargetkan segala hal untuk berjalan sempurna. Sebab, akan selalu ada peristiwa di luar dugaan.

Ketiga, sediakan waktu untuk personal interest dalam jumlah yang wajar. Dengan demikian, kita akan berkembang dan tidak hanya berkutat pada buku. Keempat, mampu berkata “tidak” atau “tidak sekarang” dan buat skala prioritas.

“Percaya sama orang lain, kalau bisa didelegasikan. Tentukan juga mana yang harus saya lepaskan karena memang menjadi ranah orang lain,” terang Ega.

Kelima, atur pekerjaan dalam bentuk detail atau urutan agar menghindari multitasking. Hal ini dapat membuat waktu kita lebih efisien, tetapi jangan pula terlalu memaksakan.

Poin terakhir, tumbuhkan pola pikir seimbang dan practice being in the moment. Yakni fokus  dan menghadirkan diri di setiap urusan yang sedang dikerjakan.

Balance itu ada di pikiran kita. Bukan tentang bagi-bagi kue. Percuma kalau setiap urusan kebagian waktu, tapi ketika mengerjakan satu urusan kita memikirkan urusan lain. Berarti kita tidak berlatih being in the moment,” kata Ega.

Di sisi lain, imbuh Ega, jika ingin keseimbangan diri maka kita harus menentukan aspek mana yang berusaha kita kendalikan. Situasi, aksi, respons emosional, respons fisik, atau pikiran kita.

Pertama-tama, tentukan apakah situasinya dapat kita ubah. Misalkan kita punya hak untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan, punya pilihan untuk keluar dari suatu grup yang mengganggu keseimbangan diri kita.

Akan tetapi, tentu tidak semua situasi dapat kita kendalikan. Seperti ketika harus bekerja kelompok dan seorang teman tidak bisa hadir, sekalipun merasa kesal, hal ini tidak dapat kita kendalikan.

Jika situasi tidak dapat kita kendalikan, berarti pikiran dan perilaku kita lah yang diatur sebagai aspek diri yang memungkinkan untuk diubah. Tidak seperti emosi yang sulit diubah.

Kemudian, jangan memaksakan positive thinking terus menerus karena hal ini dapat menyebabkan false positive. Tetap kelola emosi dalam ukuran wajar.

“Kalau kita tidak mengendalikan, kita akan emosi terus. Memaksakan semuanya baik-baik saja. Berusaha untuk selalu tampak oke. Itu akan berbahaya di kemudian hari,” jelasnya. Humas UNS

Reporter: Kaffa hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content