Kekerasan Sudah Menjadi Hiburan

SOLO – Tayangan kekerasan yang disiarkan semakin menjadi sesuatu hal yang biasa bagi masyarakat bahkan cenderung menjadi hiburan. Televisi masih menayangkan adegan kekerasan secara berulang-ulang. Eksclusiveness dalam pemberitaan televisi justru menayangkan adegan kekerasan dan penganiayaan secara vulgar. Melihat demikian, TV yang tidak mengalami penyarinagn civil violence terlebih dahulu tentu saja dapat berdampak secara psikologis dan dapat menimbulkan civil violence yang baru.

“Efek psikologis yang dihasilkan dikesampingkan oleh media-media karena media biasanya lebih memperhatikan dan mengejar berita eksklusif. Otomatis mereka berlomba-lomba dalam hal ini sehingga dapat menimbulkan adanya ambiguitas di dalam tayangan kekerasan TV yang ada,” ungkap Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof.Dr. Andrik Purwasito, DEA di sela-sela acara The 2012 International Conferene On Communication, Media, & Civil Violence di The Sunan Hotel, Solo, Rabu (6/6/2013) pagi.

Sementara itu, peneliti asal The University of Newcastle Australia, Prof. Pamela Nilam, mengungkapkan mengenai hasil risetnya mengenai civil violence di Indonesia. Dia menjelaskan bahwa dalam riset yang dilakukan bersama partner dari Jurusan Sosiologi UNS Solo tentang maskulinitas dan kekerana di Indonesia dan India, menemukan bahwa kondisi di kedua negara tidak lah jauh berbeda. Seperti di Indonesia misalnya masih saja tawuran antarpelajar.

“Dalam penelitian saya dengan interview NGO saja, lebih berbicara tentang ketika orang merasa marah dan tidak dapat mengontrol emosi karena merasa kecewa atau marah sekali. Fenomena ini ada di kawasan domestik dan dalam peristiwa kekerasan sipil,” ujar Pamela.

Lebih jauh Pamela menerangkan, permasalahan civil violence atau kekerasan sipil yang timbul di Indonesia, biasanya karena ketidaksepahaman beberapa kelompok seperti perkelahian dua geng atau kelompok di pasar. Biasanya hanya terdiri dari hal kecil yang kemudian eskalasinya berkembang menjadi besar. Fenomena sepertiitu bisa dijumpai di Solo pada 1999 dan di beberapa daerah seperti di Makassar dan Mataram.

Karena sejumlah perstiwa kekerasan yang terjadi tidak mampu ditangani, masyarakat tidak lagi percaya kepada polisi. Hal ini berdasarkan hasil survey kepada 1000 responden di wilayah Pekanbaru, Solo, Jakarta, Makassar, dan dengan interview kepada orang-orang NGO serta masyarakat umum diIndonesia baik tua maupun muda tentang bagaimana persepsi mereka terhadap kekerasan sipil.

“From many people i know that nobody one trust with the police for finish that, dari hasil temuan saya, yang ada polisi kriminal kadang-kadang malah memprovokasi dan membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Begitu pula dengan korupsi,” jelasnya mengenai hasil risetnya yang dilakukan selama tiga tahun dari 2009 sampai 2011.

Untuk mengatasi kekerasan sipil di Indonesia, Pamela berpendapat, perlu mengedepankan mediasi musyawarah secara kekeluargaan di dalam suatu komunitas atau kelompok dengan menghadirkan tokoh-tokoh berpengaruh di dalamnya, seperti: lurah dan ulama.

Disinggung mengenai capaian kasus kekerasan sipil di Indonesia apakah sudah mencapai tahap chaos atau belum, Pamela menilai bahwa hal itu belumlah sampai ke sana. “Belum sampai tahapan chaos atau kaca balau dan eskalasi besar, yang pasti ada provokator atau dalang dan aktor intelektual di dalamnya,” kata dia.[]

Skip to content