KMK FH UNS Gelar Webinar Ulas Pandangan Katolik dan Hukum terhadap Keberadaan LGBTQ+

UNS — Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar bertajuk “Mengulik Keberadaan LGBTQ+ dalam Pandangan Katolik dan Hukum di Indonesia” melalui Zoom Cloud Meeting, Minggu (17/1/2021) sore.

KMK FH UNS mengundang tiga orang pembicara dalam webinar kali ini. Mereka adalah Romo Giovanni Mahendra Christi, S.S., M.Fil, MSF (Imam Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus), Hendrika Mayora Victoria, dan Lisa Elfena (aktivis Hak Asasi Manusia).

Romo Giovanni melalui presentasinya memaparkan materi tentang “What’s Wrong with LGBTQ+? In a Catholic Perspective”. Ia terlebih dulu menerangkan perbedaan sexual behavior, gender identity, sexual orientation, sex, dan gender roles.

Sexual behavior itu ada heterosexual, homosexual, bisexual, dan celibate. Gender identity itu girl/woman, boy/man, dan transgender. Sexual orientation itu lesbian, gay, straight, bi, asexual, dan queer. Sex itu female, male, dan intersex. Sedangkan, gender roles itu feminine dan masculine,” jelas Romo Giovanni.

Menyangkut beragamnya orientasi seksual, Romo Giovanni juga menjelaskan pandangan Gereja Katolik mengenai LGBTQ+. Ia mengatakan, setiap orang, tanpa memandang orientasi seksual, harus dihormati martabatnya dan diterima dengan rasa hormat, dengan hati-hati untuk menghindari “setiap tanda diskriminasi yang tidak adil”, khususnya segala bentuk agresi dan kekerasan.

“Setiap orang yang menunjukkan kecenderungan homoseksual dapat menerima bantuan yang mereka butuhkan untuk memahami sepenuhnya dan melaksanakan kehendak Allah dalam hidup mereka,” ujarnya.

Ia mencontohkan apabila dalam kehidupan perkawinan, salah satu pasangan menyadari adanya perubahan orientasi seksual, maka Gereja Katolik dapat membatalkan perkawinan pasangan yang bersangkutan setelah melalui penyelidikan Kanonik.

“Kita bisa melihat dari perjalanan track record pasangan. Itu pentingnya penyelidikan Kanonik bagi romo yang menyelidiki Kanonik sebelum pernikahan pasangan yang akan menuliskan beberapa catatan penemuannya bilamana ditemukan di kemudian hari dan sudah ditemukan sejak awal, misalnya ada kecenderungan homoseksual, penyelidikan Kanonik bisa menjadi bukti bagi pasangan untuk mengajukan pembatalan perkawinan kepada pengadilan Gereja Katolik.

Menyambung pemaparan materi Romo Giovanni, aktivis HAM yang juga mahasiswi UNS, Lisa Elfena, menyinggung akar penindasan bagi LGBTQ+ di Indonesia. Ia mengatakan sistem patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat mengakibatkan patriarki terus tumbuh dan berkembang menjadi sebuah aturan.

Pada akhirnya, hal tersebut memunculkan sistem dan kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Untuk mempertahankan eksistensi patriarki, maka patriarki melahirkan tiga konsep alat penindas, yaitu gender superior, gender biner dan heteronormativitas.

“Individu LGBTI adalah individu yang tidak bisa memenuhi standar 3 alat penindas patriarki di atas. Ketidakmampuan LGBTI memenuhi syarat-syarat yang diajarkan patriarki, khususnya 3 konsep tersebut menjadi dasar orang-orang ini mengalami penindasan, kekerasan hingga pembunuhan,” ucap Lisa Elfena.

Lisa Elfena juga menerangkan penerimaan keberagaman seksualitas manusia berdasar konsep HAM. Ia mengatakan tidak seharusnya keberagaman seksualitas menjadi dasar terjadinya kekerasan, stigma, dan diskriminasi. Karena sesungguhnya setiap orang tidak seharusnya didiskriminasi, distigma, atau diperlakukan semena-mena atas dasar apapun.

“Karena Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 1 tentang HAM mengatakan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat,” pungkas Lisa Elfena. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content