Kuliah Umum FEB UNS Bahas Prospek dan Tantangan Pengembangan Industri Halal di Indonesia

Kuliah Umum FEB UNS Bahas Prospek dan Tantangan Pengembangan Industri Halal di Indonesia

UNS — Kuliah Umum Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengangkat topik industri halal di Indonesia. Kuliah umum kali ini mengupas prospek dan tantangan pengembangan industri halal yang semakin berpotensi dan diminati. Acara berlangsung secara daring dan luring melalui Zoom Cloud Meeting dan bertempat di Aula Konimex FEB UNS.

FEB UNS menghadirkan dua pembicara dalam kuliah umum kali ini. Mereka adalah Kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal Kementerian Perindustrian, Junadi Marki, ST., M.T. serta Dosen FEB UNS, Dr. Hj. Falikhatun, S.E., M.Si., Ak.

Prof. Izza Mafruhah selaku Wakil Dekan FEB UNS dalam sambutannya menyampaikan industri halal saat ini sudah menjadi salah satu primadona. Ekonomi syariah di Indonesia tidak hanya berkembang pada sektor perbankan saja, tetapi juga merambah pada sektor industri.

“Banyak sekali industri-industri kreatif yang mengarahnya pada industri halal. Misalnya saja pada fesyen, obat-obatan, tourism, kuliner, dan seterusnya,” tutur Prof. Izza, Senin (6/12/2021).

Industri halal bukanlah industri baru. Beragam upaya penjenamaan ulang dilakukan untuk menciptakan wajah industri halal yang lebih menarik. Kawasan industri halal juga telah mengimplementasikan kesesuaian proses halal pada alur produksinya.

Potensi besar pengembangan industri halal semakin nampak jelas saat ini. Junadi Marki menjelaskan potensi ini melingkupi lima aspek, yaitu penduduk muslim. Potensi ekspor, prospek sektor makanan dan minuman, eksportir, dan pasar produk halal.

Berdasarakan perbandingan data State of Global Islamic Economy Report di tahun 2019/2020 dan 2020/2021, Indonesia mengalami peningkatan posisi di beberapa sektor. Pada sektor makanan halal, Indonesia menempati peringkat 4 dalam Top 10 Halal Food di periode 2020/2021. Ini merupakan peningkatan besar jika dibandingkan periode sebelumnya dimana sektor makanan halal Indonesia belum memasuki Top 10 Halal Food. Hal serupa juga terjadi pada sektor Media & Recreation serta Pharma & Cosmetic. Indonesia mampu menembus peringkat 6 dalam Top 10 Pharma & Cosmetic serta peringkat 5 dalam Top 10 Media & Recreation.

Selanjutnya dijelaskan sebaran industri halal nasional. Untuk Industri Mikro dan Kecil (IMK) pada tahun 2019 sebanyak 2,31 juta (52,8%). Proporsi terbesar dikontribusikan oleh IMK sektor makanan dan minuman yaitu sebanyak 1,68 juta unit usaha (38,4%). Sedangkan untuk Industri Besar dan Sedang (IBS) Halal sebanyak 11.182 unit usaha (35,6%) di tahun 2019. Proporsi terbanyak berada pada industri makanan dan minuman sebanyak 7.712 IBS (24,6 %). Sebaran wilayah unit usaha terbanyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Maluku Utara. Untuk menjamin kehalalan sebuah produk, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

“Sejak tahun 2014 itulah, kehalalan sebuah produk yang awalnya sukarela menjadi wajib. Halalnya sebuah produk diambil alih oleh negara, di bawah Kementerian Agama, tepatnya pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dalam perkembangannya, halal menjadi suatu program yang menjadi prioritas dan perhatian negara” ungkap Junadi Marki.

Dr. Falikhatun menyoroti industri halal di sektor pariwisata. Di awal paparannya, Dr. Falikhatun menekankan pentingnya visi industri halal yang hingga saat ini belum dimiliki oleh Indonesia. Beberapa negara lain telah memiliki visi, di antaranya: Thailand dengan visinya menjadi “Dapur Halal Dunia”, Jepang dengan visi “Industri Halal sebagai Kontributor Kunci di 2020”, Korea menjadi “Destinasi Utama Pariwisata Halal” dan beberapa visi negara lainnya.

Kuliah Umum FEB UNS Bahas Prospek dan Tantangan Pengembangan Industri Halal di Indonesia

“Visi halal ini seharusnya ada dan bisa dijadikan acuan dalam menjalankan program-program ke depannya, terlebih lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim” ujar Dr. Falikhatun.

Lebih lanjut, Dr. Falikhatun dalam paparannya juga menyampaikan tentang definisi pariwisata halal (Islamic Tourism), yang memudahkan pemahaman masyarakat dalam mengoperasionalkan definisi tersebut. Definisi ini muncul karena belum ada definisi tentang pariwisata halal yang lebih komprehenshif pada literatur sebelumnya dan mengakomodir secara langsung apa saja yang terkait dengan sektor-sektor pariwisata halal.

Pariwisata halal menurutnya adalah aktifitas perjalanan yang menggunakan transportasi, konsumsi dan akomodasi menuju destinasi wisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kemuliaan kita di hadapan Allah SWT. Terdapat empat kategori yang perlu dikaitkan dengan pariwisata halal yakni transportasi, konsumsi, akomodasi dan destinasi wisata, dan keempatkan harus terintegrasi dalam pelaksanaannya.

“Industri pariwisata halal memiliki banyak peluang karena secara riil masyarakat Muslim Indonesia sudah menggunakan halalan thayyiban sebagai bagian dari lifestyle. Halalan thayyiban sudah menjadi DNA-nya Muslim Indonesia termasuk dalam hal berpakaian. Indonesia juga merupakan big market Muslim” jelasnya.

Selain peluang itu, ada beberapa tantangan, terlebih di masa pandemi, yakni berkurangnya daya beli masyarakat terutama pada masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya cukup besar.

Tantangan lainnya, belum banyak regulasi-regulasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pariwisata halal, utamanya dalam hal transportasi, konsumsi terkait dengan makanan dan minuman halal yang sudah tersertifikasi, akomodasi (hotel dan penginapan yang tersertifikasi halal) dan destinasi wisata yang memenuhi persyaratan Fatwa DSN MUI nomor 108 tahun 2016. Dengan demikian perlu adanya dukungan pemerintah yang lebih banyak dan kuat lagi, selain Fatwa MUI untuk mengikat pengusaha di bidang pariwisata halal.
Humas UNS

Reporter: Rangga P. A.
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content