Kuliah Umum Filologi: Internet dan Teks Kuno Bisa Berjalan Beriringan

Berkembangnya penggunaan internet pada masa sekarang hendaknya tak menjadi alasan untuk enggan mengkaji budaya Jawa dan teks kuno yang terlebih dahulu lahir ratusan tahun yang lalu. Kedua hal tersebut hendaknya dapat berjalan beriringan ketika teks-teks tersebut kembali diunggah di website untuk diperkenalkan pada dunia luar agar cakupannya semakin luas. Demikian yang disampaikan Profesor Bernard Arps, pakar budaya Jawa dari Leiden University ketika mengisi kuliah umum yang bertajuk “Perbandingan Naskah Klasik, Modern dan Kontemporer”pada Senin (9/01/2017).

Prof Ben Arps ketika menyampaikan materi kuliah umum yang bertajuk “Perbandingan Naskah Klasik, Modern dan Kontemporer”

Prof Ben Arps, begitu ia akrab disapa, mengawali kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (FIB UNS) Surakarta dengan memaparkan definisi kajian filologi dilihat dari karakteristik objeknya, yaitu Artefactuality dimana teks kuno ialah artefak atau sesuatu yang dibuat oleh manusia, Interpretability yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut dapat diinterpretasikan oleh manusia, Intertextuality menggambarkan hubungan teks kuno tersebut dengan teks-teks lain, Historicity dimana artefak tersebut dapat dihubungkan dengan peristiwa-sejarah yang terjadi pada masanya, dan Contextuality yang lebih menekankan pada konteks yang terkandung dalam teks kuno tersebut. “Kelima ini secara bersama-sama dan berkaitan dapat mendefinisikan apa itu kajian filologi,” tambahnya. Kelima poin tersebut menjadi acuannya dalam mengkaji tiga teks kuno yang ia paparkan, antara lain Serat Lokapala Kawi, Pratelan Kawontenaning Serat-Serat Gadhahanipun Raden Ngabehi Kartasupana dan The World Wide Web.

Dalam pemaparan kajian studi kasus pada kuliah umum yang mengangkat tema Javanese Philology from Tantular to Internet tersebut, Ben Arps juga menunjukkan beberapa foto manuskrip  yang tersimpan di perpustakaan Leiden University yang merupakan universitas tertua di Belanda. Beberapa diantaranya telah mengalami kerusakan seperti hilangnya beberapa halaman dan adanya bercak air pada bagian-bagian tertentu. “Di Indonesia, sebetulnya teks-teks Jawa kuno atau Jawa Kawi tersimpan di Bali, namun ada juga yang tersimpan di Jawa. Di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, teks-teks Jawa kuno tersebut masih dipelajari,” terangnya. Lebih lanjut, ia menunjukkan kaitannya dengan perkembangan internet, bahasa Jawa hendaknya ikut dilestarikan dengan memberikan pilihan Bahasa Jawa pada website seperti yang telah diterapkan di beberapa website di negeri jiran, Malaysia.

Prof Ben Arps bersama Supardjo, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FIB UNS

Kuliah umum ditutup dengan penyampaian kesimpulan oleh Supardjo, wakil dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FIB UNS yang turut hadir dalam acara tersebut. “Penanganan-penanganan naskah kuno tergantung pada bagaimana kita memandang naskah Jawa tersebut. Hendaknya dikaji dengan pendekatan deskriptif secara cermat terlebih dahulu untuk memahami bentuk penulisan dan tujuan penulisannya,” tutupnya. [denty.red.uns.ac.id]

 

Skip to content