Laboratorium Sejarah FIB UNS Gelar Webinar Bahas Masyarakat Multikultural Vorstenlanden

UNS — Kajian Vorstenlanden Laboratorium Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Univesitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar Masyarakat Multikultural Vorstenlanden, Sabtu (13/2/2021) pagi, melalui Zoom Cloud Meeting.

Webinar tersebut digelar untuk membahas optimalisasi Laboratorium Vorstenlanden sebagai pusat kepakaran sejarah kewilayahan. Ada dua narasumber yang hadir dalam webinar ini. Mereka adalah Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra (Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta) dan Dr. Susanto (Kaprodi S-1 Sejarah FIB UNS).

Dalam kesempatan ini, Dr. Susanto memaparkan materinya berjudul “Masyarakat Multikultural Vorstenlanden: Surakarta Era Kolonial”. Pertama-tama ia membahas soal asal-muasal kata Vorstenlanden.

Istilah ini sudah dikenal sejak Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Namun, istilah tersebut semakin populer sejak akhir Perang Diponegoro. Hal tersebut dikarenakan batas-batas wilayah Vorstenlanden sudah semakin jelas.

“Wilayah ini sifatnya khusus atau istimewa karena memiliki dua hukum yang berlaku. Satu hukum tradisional yang berlaku di wilayah kekuasaan keempat penguasa Jawa (Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, dan Pakualaman), dan hukum Belanda untuk wilayah pemukiman kulit putih,” terang Dr. Susanto.

Lebih lanjut, Dr. Susanto mengatakan ada dua wilayah pemerintahan, yaitu Zelfbestuursgebied dan Gouvernementsgebied. Dalam hal ini, di luar daerah Vorstenlanden lebih banyak wilayah yang berstatus sebagai Gouvernementsgebied.

Wilayah tersebut meliputi Semarang, Kedu, Malang, Batavia, dan daerah-daerah di luar Jawa. Hal itu tentu semakin memperjelas wilayah Vorstenlanden sebagai daerah yang khusus atau istimewa.

“Sebutan Vorstenlanden berakhir pada masa pendudukan Jepang di Indonesia setelah wilayah Surakarta dan Yogyakarta berganti status menjadi wilayah otonom dengan sebutan Kochi,” ujar Dr. Susanto.

Di hadapan peserta webinar, Dr. Susanto juga membahas soal komunitas-komunitas di Vorstenlanden. Ia menerangkan munculnya Surakarta sebagai ibu kota baru pengganti Kartasura tidak hanya melahirkan lingkungan fisik kota baru.

Namun, keberadaan Surakarta juga melahirkan kelompok-kelompok sosial baru walaupun gambaran komunitas yang lahir mirip dengan lingkungan yang ada di Kartasurayaitu komunitas kulit putih.

“Keberadaan komunitas ini sangat tergantung pada keberadaan benteng. Benteng yang dimaksud di sini adalah Benteng Grootmoedigheid yang dibangun dari batu oleh VOC pada 1745,” imbuhnya.

Komunitas kulit putih di Surakarta, disebut Dr. Susanto, merupakan tentara garnisun atau garrison soldier. Mereka dapat diklasifikasikan sebagai penduduk kulit putih pertama di Surakarta.

Menyambung pemaparan materi Dr. Susanto, antropolog UGM Prof. Heddy Shri Ahimsa menyinggung soal “Multikulturalisme di Vorstenlanden”. Prof. Heddy Shri Ahimsa mengatakan menurut Furnivall masyarakat Surakarta-Yogyakarta -terutama di Vorstenlanden- merupakan masyarakat plural yang bergaul tidak bercampur dan bercampur tidak menyatu.

“Tiap kelompok punya ‘agama’, budaya dan bahasa sendiri. Mereka punya gagasan dan tata cara atau adat-istiadat sendiri,” jelasnya.

Prof. Heddy Shri Ahimsa menerangkan di Surakarta dan Yogyakarta terdapat sejumlah kelompok masyarakat, yaitu orang Belanda dari Eropa, orang Arab dan orang Tiongkok dari Timur asing, dan orang Jawa yang merupakan pribumi, sehingga muncul batas ras/ racial lines.

“Orang Belanda menetap di Manahan (Solo) dan Kota Baru (Yogyakarta). Orang Arab melahirkan Kampung Arab di Pasar Kliwon (Solo) dan Sayyidan (Yogyakarta), Pecinan di Balong dan Pasar Gede (Solo) dan Ketandan (Yogyakarta) sehingga ada enclave-enclave hunian,” tutur Prof. Heddy Shri Ahimsa.

Melalui paparan materinya, Prof. Heddy Shri Ahimsa juga mengungkapkan jika masyarakat Vorstenlanden di era kolonial belum dapat dikatakan sebagai masyarakat yang multikultural.

Alasannya, dalam ciri-ciri masyarakat yang plural harus menunjukkan adanya usaha menghargai perbedaan, penghargaan terhadap budaya lain, dan keinginan memahami budaya lain.

“Ciri-ciri tersebut menjadi indikator untuk menentukan ke-multikultural-an suatu komunitas/ masyarakat,” ujar Prof. Heddy Shri Ahimsa. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content