Labschool UNS: Urgensi “Laboratorium” Belajar di Masyarakat

UNS – Sekolah Menengah Atas (SMA) Pradita Dirgantara menggelar webinar bertajuk “Pemodelan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Terpadu di Segala Kondisi #2” melalui kanal Youtube resminya, Kamis (28/5/2020). Pada seri pertama, sekolah yang juga merupakan Labschool Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini telah membahas model pembelajaran di beragam situasi yang mengerucut pada integrated contextual learning based socio enviromental science issue sebagai KBM ideal. Yaitu sebuah model pembelajaran terpadu yang berbasis pada isu atau permasalahan terkini di masyarakat dengan menggabungkan beberapa Mata Pelajaran (Mapel) dan Kompetensi Dasar (KD).

Sementara pada seri kedua ini, lima pembicara dari sektor pendidikan dan pemerintahan dihadirkan untuk membahas lebih lanjut perihal praktik KBM tersebut di hadapan sejumlah 800 lebih peserta. Mereka adalah Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P., (Gubernur Jawa Tengah), Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum (Rektor UNS), Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, ASEAN Eng., (Rektor Universitas Gajah Mada (UGM)), Dr. Sutanto, DEA (Staf Ahli Rektor UNS), dan Kol. Dr. Drs. Yulianto Hadi, M.M. (Kepala SMA Pradita Dirgantara) yang dimoderatori oleh Dwi Agus Yuliantoro, Ph.D. selaku Direktur Pengembangan Sekolah Pradita Dirgantara.

Hadir sebagai Keynote Speaker, Ganjar Pranowo menyampaikan bahwa kebingungan dan kegagapan di sektor pendidikan memang terjadi di era pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) ini, baik pada diri siswa, sekolah, pemerintah, maupun orang tua. Namun, menurutnya, hal tersebut menandakan adanya sebuah learning process atau proses pembelajaran dalam masyarakat.

Dari proses tersebut, masyarakat juga pemerintah diharuskan dan berkesempatan untuk mengoreksi, memperbaiki, dan mengembangkan sistem pendidikan yang ada. Salah satunya adalah bagaimana menerapkan KBM Terpadu dengan menjadikan masyarakat sebagai laboratorium pembelajaran, khususnya dalam penanganan dampak Covid-19. Ganjar menyebut hal ini sebagai Jogo Tonggo (Menjaga Tetangga).

“Misal dalam kedaulatan pangan di lingkungan sekitarnya, siswa dapat belajar bagaimana bertahan dalam kondisi seperti ini dengan mandiri menanam sayuran. Kemudian mendata tetangga yang rentan terdampak stabilitas ekonominya dan yang masih aman keuangannya untuk saling bantu. Berarti siswa belajar statistik, ekonomi, dan pangan sekaligus. Ada sharing nilai di dalamnya. Di mana siswa dapat membantu dengan pengetahuan intelektual yang dimiliki,” ujar Ganjar.

Gubernur asal Purworejo ini pun menyinggung kendala pembelajaran daring berupa akses internet yang tidak dimiliki oleh seluruh masyarakat. Maka, imbuhnya, pembelajaran yang ada selama pandemi ini harus diubah dan bukan melulu menyelesaikan target materi di buku. Melainkan mengutamakan pembelajaran budi pekerti serta kemanusiaan yang adil dan beradab.

“Mengajarkan awareness atau kepedulian dan kedisiplinan. Mungkin sepele seperti bangun pagi, membantu orang tua, bersih-bersih, belajar daring, bahkan kesempatan untuk bermain. Dalam konteks normal, pendidikan klasika juga jangan tegang-tegang dan menjenuhkan,” jelasnya.

Sementara itu, Dr. Sutanto, DEA menekankan bahwa selain perihal ekonomi, hal yang tidak kalah penting di era pandemi ini adalah bagaimana mengirim pengetahuan atau ‘guru’ dan membawa laboratorium sekolah ke rumah-rumah para pelajar. Jika hal ini gagal, tuturnya, akan terjadi lost generation karena para generasi muda tidak mendapat pengetahuan memadai selama pandemi.

“Maka laboratorium yang ada di sekolah harus dibawa ke rumah. Kita harus menciptakan laboratorium itu. Pengetahuan kan sebenarnya adalah cara untuk menemukan titik keseimbangan baru, antara struktur kognitif dengan lingkungan sekitar. Di sinilah Pentingnya eksplorasi lingkungan,” jelas dosen UNS tersebut.

Oleh karenanya, imbuh Dr. Sutanto, guru dan siswa dalam pembelajaran tidak boleh lagi terkukung di satu disiplin ilmu saja. Dengan kata lain, guru dapat memadukan beberapa Mapel dan KD untuk dipelajari dalam satu waktu, tempat, dan satu kasus.

Hal ini pun diamini oleh Kol. Dr. Drs. Yulianto Hadi, M.M. Ia mengatakan bahwa adanya perpaduan Mapel dan KD di satu laboratorium dapat menciptakan pembelajaran yang efektif dan efisien. Sebagai contoh, di Surakarta terdapat Keraton Surakarta yang dapat dipelajari oleh siswa dari dua bidang keilmuan atau Mape, yakni Sejarah dan Pendidikan Kewarganearaan (PKn). Menurutnya, ada 10 KD Mapel Sejarah dan 3 KD Mapel PKn Kelas X yang dapat dieksplorasi dan disentuh di keraton tersebut.

Ia menambahkan bahwa di Jawa Tengah, terdapat banyak kearifan lokal yang dapat dieksplorasi. Sayangnya, keragaman tersebut belum disentuh oleh mayoritas guru yang belum memahami metakognitif dalam pembelajaran dan hanya berfokus pada buku saja. Padahal, dalam kurikulum pendidikan Indonesia ada satu kata kunci yang harus dicapai siswa, yakni sampai pada tataran metakognitif dan berkarya.

“Maka metakognitif guru perlu dioptimalkan sehingga dapat menuntun siswa untuk mencapai pembelajaran level berkarya. Tapi juga aja digebyah uyah. Tidak semua Mapel dan KD bisa integrated. Kita petakan dulu. Dipilih mana yang bisa, mana yang tidak. Kalau tidak bisa, jangan dipaksa,” katanya.

Di sisi lain, dua rektor yang hadir, yakni Prof. Jamal Wiwoho dan Prof. Panut kompak menyatakan bahwa integrated contextual learning tidak begitu mudah diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari persoalan pendidikan di Indonesia yang sangat kompleks. Termasuk kaitannya dengan sistem dan standar penerimaan mahasiswa maupun siswa baru di Perguruan Tinggi (PT) dan sekolah yang seringkali menjadi dilema.

Baiknya model KBM Terpadu seringkali tidak sejalan dengan misi guru dan keinginan mayoritas orang tua untuk mengantar para siswa masuk di sekolah atau PT favorit. Di mana notabenenya hal itu harus dicapai dengan nilai rapor, nilai Ujian Nasional (UN), maupun tes akademis. Bukan karya atau kepribadian unggul yang dimiliki oleh tiap anak.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada pergeseran yang kemudian menurut Prof. Jamal menjadi masalah pendidikan saat ini. Yakni pergeseran operatif, pergeseran penilaian, dan pergeseran persepsi publik.

“Sekarang itu penilaian lebih ke arah kuantitatif. Pergeseran penilaian. Soal jujur tidak jujur, menghargai orang lain atau tidak yang sifatnya kualitatif itu tidak terlihat dan dinilai. Kemudian, pergeseran persepsi publik, sekolah yang favorit ya favorit terus dan anak-anaknya pasti diarahkan ke sana. Sekolah yang kurang, mau naik sulit betul,” ucap Prof. Jamal.

Meskipun demikian, Prof. Panut menuturkan bahwa konsep sekolah menyenangkan dan pembelajaran yang fundamental di masyarakat sangatlah bagus. Asal, harus dibarengi dengan target-target dan kemunculan pola-pola baru. Sebagaimana tujuan webinar yang disampaikan oleh Nanny Hadi Tjahjanto, Ketua Umum (Ketum) Dharma Pertiwi, yaitu untuk membentuk sivitas sekolah yang lebih fleksibel, tidak statis, kreatif dan inovatif dengan mengoptimalkan berbagai media di lingkungan sekitar.Humas UNS/Kaffa

Skip to content