Lack Information: Faktor Utama Xenofobia Lokal di Indonesia

UNS – Xenofobia atau ketakutan pada hal-hal berbau asing dan negara lain menjadi salah satu dampak adanya Covid-19. Berdiskusi lebih lanjut tentang hal tersebut, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar ‘Webinar Nglaras Sosiologi #5 Covid-19 and The Rise of Xenophobia’ pada Selasa (30/6/2020) sore.

Membuka materi, Yuyun Sunesti, Dosen Sosiologi UNS menjelaskan timbulnya local xenophobia di Indonesia. Yakni xenofobia berupa penolakan terhadap jenazah pasien positif virus korona, orang yang datang dari luar daerah, dan masyarakat yang rentan terjangkit virus tersebut seperti tenaga medis.

Satu faktor utama adanya xenofobia lokal di Indonesia ini, kata Yuyun, adalah lack of information and awareness. Tidak sampainya informasi kesehatan terkait Covid-19 hingga akar rumput atau masyarakat.

“Misalkan penolakan terhadap jenazah pasien positif korona. Informasi bahwa ketika jenazah tersebut diurus sesuai dengan protokol Covid-19 akan aman, tidak benar-benar sampai di masyarakat,” jelas Yuyun.

Yuyun pun menambahkan, dari kacamata sosiologi hal ini termasuk stigma sosial. Suatu hal dapat disebut stigma sosial dan xenofobia adalah saat terjadi diferensiasi dan labelling. Yaitu adanya anggapan bahwa sebagian orang berbeda dan berbahaya bagi suatu komunitas sosial sehingga tidak seharusnya berada di komunitas tersebut.

Kemudian adanya pembatasan dengan kata ‘kita’ dan ‘mereka’ yang akhirnya menimbulkan kerugian bagi ‘mereka’ yang didiskriminasi.

“Wajar apabila takut dengan korona. Tapi jangan sampai merugikan kelompok sosial lain yang mempunyai hak sama dalam kehidupan sosial kita,” tutur Yuyun.

Sementara itu, Azhar Ibrahim Alwee, Dosen Malay Indonesian Sociologycal Studies dari National University of Singapore menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam menghadapi xenofobia ini.

Menurutnya, warga kampus harus tampil dan memitigasi permasalahan ini. Beberapa langkah yang dapat diambil diantaranya dengan memupuk dan menyebarkan konsep kritis di ranah publik. Baik di media maupun berbagai perbincangan daring.

Selain itu, perguruan tinggi dapat secara proaktif mengkaji xenofobia dengan pendekatan biosocial yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan kesehatan yang menjadi core Covid-19. Alwee menilai selama ini orang-orang yang bergerak di kesehatan lebih berfokus pada hal teknis, sedangkan akademisi ilmu sosial tidak banyak menyentuh ranah kesehatan publik yang sebenarnya memiliki peluang untuk turut dikaji.

“Kita tidak saling gabung, tidak ada cross interdicipliner. Orang-orang ilmu sosial harus bisa bicara healthcare. Di depan mata ada macam-macam masalah, maka harus tampil dengan perspektif kekritisan sosial. Selama ini ilmu sosial seringkali tampil tinggi, tapi tidak menyentuh masalah yang ada. Begitu juga dengan yang bergerak di kesehatan juga harus akrab dengan ranah sosial,” terang Alwee.

Mitigasi stigma xenofobia juga dapat dilakukan dengan membangun kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit dan tempat isolasi disediakan sebagai tempat penyembuhan, bukan kematian. Alwee pun menuturkan pentingnya koordinasi internasional untuk melawan xenofobia.

“Kemudian kita harus menampilkan narasi yang optimistik dan positif. Covid-19 ini bukan suatu malapetaka yang berujung kiamat. Akan tetapi adalah sesuatu yang dilalui oleh manusia dan nantinya manusia juga menghadapinya,” pungkas Alwee. Humas UNS/Kaffa/Dwi

Skip to content