Luar Biasa, Alumni UNS ini Mengabdi di Penjuru Negeri

UNS – Alumni Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tidak hanya mengabdikan dirinya di Pulau Jawa, namun banyak alumni yang mengabdikan dirinya di Luar Pulau Jawa. Dalam kesempatan ini, Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UNS menggelar webinar pada Rabu (1/7/2020) dengan menghadirkan 11 alumni UNS yang saat ini mengabdi di pedalaman tanah air.

Webinar bertajuk Wedangan IKA UNS ini dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNS, Prof. Kuncoro Diharjo. “Saya sangat mengapresiasi kegiatan webinar ini. Saya yakin Wedangan IKA UNS ini akan sangat bermanfaat dengan berbagai cerita dari teman-teman narasumber,” ujar Prof. Kuncoro di sela-sela acara webinar yang digelar melalui aplikasi Zoom Cloud Meetings ini.

Salah satu narasumber yaitu Eny Dewi yang merupakan alumnus UNS dan saat ini berada di Sambas, Kalimantan Barat. Saat ini Eny menjabat sebagai pengawas Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB). “Idealnya, seorang pengawas sekolah hanya membina tiga sekolah saja, namun karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), Eny mengelola 22 sekolah di delapan kecamatan,” terang Eny.

Eny bertugas di perbatasan ekor Kalimantan, tepatnya di Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar. Pada masa pandemi ini, siswa bergiliran ke sekolah untuk mengambil tugas dan setelah itu menyebarkannya ke teman-teman yang lain secara berantai. Transportasi yang digunakan Eny adalah sampan. Ketika mengabdi di sana, Eny berhasil meraih beberapa pencapaian. Saat mengabdi di Kecamatan Jelimpo, ia berhasil mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kabupaten Landak untuk kemajuan di bidang pendidikan.

Selanjutnya, Dwi Prasetyo berbagi kisah pengabdiannya di Muara Wahau, Kalimantan Timur. Alumnus Fakultas Pertanian (FP) UNS angkatan 1980 ini berkisah akan keadaan pedalaman.

Di Muara Wahau, Dwi memulai semua dari nol yaitu membangun hutan menjadi perkebunan. Disana, ia dan teman-temannya memperbaiki infrastruktur dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Hal ini tidak hanya untuk kepentingan perusahaan tempat ia bekerja, namun juga bisa dimanfaatkan bersama oleh masyarakat setempat.

Kemudian, pembicara selanjutnya, Hari Nurdin yang berbagi pengalamannya di Raja Ampat, Papua. Hari mengaku, ketika ia hendak mencapai tempatnya bekerja, paling tidak membutuhkan waktu setengah hari perjalanan. Kehidupan di perbatasan memang banyak keterbatasan, namun pemandangan alam di Raja Ampat memang luar biasa. “Ketika harus merantau, seseorang harus mempersiapkan fisik dan mental yang baik,” ujar Hari.

Pembicara keempat yaitu Mona yang berasal dari Ngabang, Landak. Ia berbagi ceritanya sebagai pemberi pelatihan guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Landak. Alumnus Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris ini mengaku bahwa ia membutuhkan waktu 3-8 jam perjalanan untuk mencapai tempatnya bekerja. Meski begitu, ia terus melakoni peran tersebut untuk pendidikan yang lebih maju.

Tak kalah penting adalah pemaparan dari Juli Susilo. Alumnus Prodi Pendidikan Keolahragaan (POK) yang harus menempuh 150 KM perjalanan menuju tempatnya bertugas. Kanan kiri jalan yang dilaluinya sehari-hari adalah hutan. Kini, Juli menjabat sebagai Kepala Sekolah walau begitu kadang ia merangkap sebagai admin, bendahara, sekaligus guru.

Kisah pendidik selanjutnya datang dari Prihatin yang bertugas di Teluk Bintuni, Papua. Ia mengaku, disana ia diperlakukan dengan ramah oleh masyarakat setempat dan peserta didiknya. Meski demikian, kadang ia merasa sedih karena jauh dari keluarga. Butuh waktu hampir 1 hari untuk menuju tempatnya bertugas dengan cara naik kapal besar terlebih dahulu dilanjutkan dengan fiber. Setelah itu naik ojek selama 2 jam. Tantangan yang dihadapinya adalah daya tangkap anak pedalaman kurang, maka dibutuhkan kesabaran ekstra dalam hal ini.

Kisah pengabdian selanjutnya datang dari Ririh Yulia yang mengabdi di Sungkup, Lamandau. Alumnus Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia ini, berkisah ketika awal kali ia menginjakkan kaki di Sungkup, belum ada listrik sama sekali. Karena itu, ia dan teman-temannya memutuskan untuk iuran membeli genset. Ririh mengaku, di Sungkup solidaritas masyarakat sangat tinggi.

Narasumber selanjutnya yaitu Supardi. Ia menuturkan kisahnya di Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara). Supardi yang merupakan alumnus Prodi Pendidikan Teknik Mesin (PTM) ini memutuskan untuk menjadi wirausahawan di bidang pembudidayaan. Ia mengatakan bahwa kehidupan di Kaltara menarik namun untuk bidang pendidikan belum sestabil di Pulau Jawa. Maka ia mengimbau bagi alumni UNS yang hendak merantau ke Kaltara, peluang masih terbuka lebar.

Selanjutnya, Arief Wicaksono dari Delang, Kalimantan Tengah menuturkan kisahnya yang pernah mengalami komunikasi yang sulit karena sinyal yang minim. Alumnus FP UNS ini mengaku bahwa kehidupan di Kalimantan tidak menakutkan seperti yang dibayangkan sebelumnya. Maka, ia mengimbau bagi siapa saja untuk tidak takut ketika hendak pergi ke Kalimantan.

Kisah selanjutnya datang dari Nasrul Aidi yang berasal dari Jantho, Aceh. Alumnus Prodi PTM ini berprofesi sebagai guru teknik sepeda motor di SMK. Ia mengaku agak kesulitan dalam mengendalikan siswa. Bahkan, beberapa siswa ada yang tidak mau berangkat ke sekolah hingga harus dijemput ke rumah.

Terakhir, Sucipto dari Numfor, Biak, Papua menuturkan kisahnya ketika di sana tidak ada sinyal dan listrik. Ia juga mengatakan bahwa di Papua tidak menakutkan seperti yang beredar di media. Disana ia diterima dan diperlalukan dengan baik, bahkan hingga dibuatkan rumah sendiri.

Pada webinar ini, banyak alumnus yang berbagi kisah inspiratifnya. Mutiara UNS yang tersebar di penjuru negeri ini, mendapat angin segar dari Ketua IKA UNS, Ir. Budi Harto dan Ketua Yayasan IKA UNS, Joko Suranto.
“Kami menawarkan kepada para alumni yang telah berbagi kisahnya, apabila terdapat putra-putri terbaiknya di bidang akademik supaya dikirimkan ke UNS, yayasan IKA UNS siap menanggung biaya selama berkuliah di Solo,” ujar Joko. Humas UNS

Penulis: Zalfaa Azalia Pursita
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content