Menilik Serat Kalatidha dalam Konteks Kekinian

Amenangi zaman edan,
ewuhaya ing pambudi
melu ngedan nora tahan,
yen tan melu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wakasanipun,
ndilalah kersa allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang eling klawan waspada.
(Pupuh 7 Serat Kalatidha)

Raden Ngabei Ranggawarsita, pujangga Karaton Surakarta dikenal dengan karya sastranya pada abad ke-19. Kalatidha adalah salah satu karya sastra yang dikenal hingga saat ini seperti sebuah ramalan dari sang pujangga. Jaman edan, yang ia tulis dalam syairnya merujuk pada penggambaran keadaan zaman yang rusak. Edan dalam bahasa Indonesia berarti gila, oleh Ranggawarsita digunakan untuk menggambarkan keadaan dengan pelanggaran aturan dan norma yang parah dan sistematis. Persis seperti kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Para pembicara seminar nasional "Kalatidha dalam Konteks Kekinian"
Para pembicara seminar nasional “Kalatidha dalam Konteks Kekinian”

Penggalian relevansi Kalatidha dalam konteks kekian, lebih lanjut diwujudkan Program Studi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (FIB UNS) melalui seminar nasional yang bertajuk “Kalatidha dalam Konteks Kekinian”, Rabu (23/11/2016). Seminar ini menghadirkan pembicara GPH Dipokusumo (Budayawan dan Kaprodi HI Unisri Surakarta), Suwardi Endraswara (Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat/Guru Besar UNY), Suyatno (Kepala Museum Perpustakaan Bung Karno Blitar) dan Supana (Kaprodi Sastra Daerah FIB UNS).

Supana melalui makalahnya menjelaskan jaman edan yang dituliskan Ranggawarsita merujuk pada zaman ketika terjadi pelecehan aturan, disebut juga dengan kalabendu atau kalatidha. Supana menambahkan penulisan Kalatidha tidak lepas dari pengalaman pahit Ranggawarsita. Sang Pujangga tidak ingin merasakan kepedihan yang berlarut-larut akibat fitnah yang dideritanya.

Suwardi Endraswara menyebut perlu adanya penafsiran ulang terhadap tanda-tanda jaman edan. Melalui perspektif fenomenologis jaman edan diartikan sebagai hal yang serba tidak jelas, serba remang-remang. Sementara dari perspektif hermeneutic diartikan sebagai zaman yang serba jauh dari nalar. “Banyak yang tidak jelas, kabur, di jagad jaman edan. Inti potret jaman edan masa kini adalah kondisi serba bolak balik. Yakni jaman yang tidak pernah sejalan dengan nalar jernih,” imbuhnya.

Sementara itu, GPH Dipokusumo menuturkan beberapa ramalan dalam karya Ranggawarsita yang sudah terjadi pada bangsa Indonesia seperti kemerdekaan dan dan bentuk tata kenegaraan. Ranggawarsita juga menulis Pedah apa amituhu(apa gunanya kita percaya)/pawarta lara wara(pada berita kosong)/ mundha kang roro ati(justru membuat sakit hati)//. Karya tersebut seperti menggambarkan kondisi saat ini, yaitu banjir informasi dan banyak berita bohong.

Tak hanya ramalan yang terbukti, Ranggawarsita juga menulis solusi dan cara menghadapi jaman edan tersebut. Supana memaparkan solusi  yang ditulis Ranggawarsita antara lain eling lan waspada. “Solusinya yakni, eling dan waspada, eling dalam budaya Jawa memiliki makna yang mendalam dan berkekuatan, selalu ingat, singkatnya,” terang Supana. Sementara waspada diartikan sebagai sikap awas terhadap ancaman dari tindakan yang menyimpang dari norma-norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Konser Karawitan Gadhon

Berbarengan dengan seminar nasional yang diselenggarakan di Auditorium UNS, Konser Karawitan Gadhon digelar. Konser menampilkan “Laras Pandawa”, kelompok musik karawitan mahasiswa Prodi Sastra Daerah. Konser karawitan gadhon ini digelar dengan tujuan yaitu sebagai bentuk perhatian dan keikutsertaan aktif terhadap upaya pelestarian kesenian Jawa khususnya karawitan gadhon. Selain itu konser karawitan gadhon menjadi bagian program promosi UNS menuju world class university.

Penampilan apik kelompok karawitan "Laras
Penampilan apik kelompok karawitan “Laras Pandawa” sebelum seminar nasional dimulai.

Rektor UNS melalui sambutan yang dibacakan oleh Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UNS, Warto, menyebut UNS sangat peduli dengan pengembangan kebudayaan. UNS berada di pusat kebudayaan Jawa menjadi lembaga pendidikan yang memang sudah sepatutnya nguri-nguri budaya luhur dan kemudian dikembangkan dalam konteks masa kini.[](nana.red.uns.ac.id)

Skip to content