Pakar Ekonomi & Praktisi Pasar Modal UNS : Investor Harus Bijak Menyikapi Turbulensi di Pasar Modal

UNS – Pandemi Covid-19 di Indonesia tidak hanya berdampak pada sector rill saja, tetapi juga terjadi pada Pasar Modal. Pelemahan pasar ini menjadi sorotan banyak pihak di tengah pandemi global ini. Pakar ekonomi sekaligus praktisi Pasar Modal dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Riwi Sumantyo, SE., MM, turut memberikan komentar.

Dampak Covid-19 terhadap pasar modal kita luar biasa. Sudah beberapa minggu ini pasar modal Indonesia mengalami fluktuasi yang sangat tajam. Namun situasi ini tidak hanya di alami pasar modal Indonesia, seluruh dunia demikian. Di Indonesia Sudah berkali-kali, IHSG terkena penghentian perdagangan sementara (trading halt), yaitu ketika penurunan IHSG menyentuh angka 5% dibanding penutupan hari sebelumnya, maka ada trading halt selama 30 menit.
“Ini adalah bagian dari protokol yang diterapkan OJK dan BEI supaya IHSG tidak turun terlampau dalam. Karena fokus pelaku pasar saat ini adalah masalah penanganan Corona, maka dalam dalam jangka pendek-menengah pasar modal Indonesia akan cenderung terus berfluktuasi” ujar Riwi

Posisi IHSG saat ini sudah terkoreksi sekitar 27,5 persen year to date (Ytd). Apa yang kita alami saat ini bukan yang pertama kali, tahun 2008 dan 1998 jauh lebih parah. Tahun 2008, akibat krisis Sub Prime Mortgage (SPM) di AS. Tapi waktu itu yang terkena adalah sektor keuangan, sektor riil (dunia usaha) relatif aman. Tahun 1998, kita semua sudah mengetahuinya. Situasi tahun ini ada kemiripan dengan tahun 1998, tetapi faktor penyebabnya beda.
“Kita belum pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya, makanya saat ini seluruh negara pusing, belum bisa menentukan formula yang pas, baik untuk mengatasi pandemi maupun mitigasi terhadap ekstor ekonomi. Semuanya bersifat trial and error. Jadi kalau dalam perumusan kebijakan maupun implementasinya masih banyak lubangnya, harap dimaklumi, karena memang situasinya sangat kompleks.” lanjut Riwi.

Upaya untuk menghadapi kondisi tersebut tidak hanya OJK yang mengguyur stimulus ke pasar, otoritas moneter namun pemerintah melalui otoritas fiskal juga sudah melakukannya. Terakhir, seperti yang disampaikan Presiden kemarin, akan ada stimulus sekitar Rp 405,1 trilyun untuk mengatasi pandemi ini.
“Namun sejauh ini, stimulus yang diberikan belum bisa memberikan rasa tenang sepenuhnya kepada pelaku pasar. Pelaku pasar adalah pihak-pihak yang sangat rasional (rational economic). Saya yakin, mereka sudah berhitung dampak Covid-19 ini terhadap situasi ekonomi, politik dan sosial dan semuanya sudah priced in di pasar. Pelaku pasar selalu bergerak mendahului data karena market intelegent mereka luar biasa. Big fund selalu punya informasi A1 tentang hal ini” tandas Riwi.

Dampak pandemi, hampir semua sektor ekonomi terkena dampak negatif, seperti perdagangan, pariwisata, penanaman modal, ekspor-impor dst. Hampir tidak ada sektor yang ‘selamat’. Mungkin sektor farmasi ‘agak tertolong’ dalam jangka pendek karena meningkatnya permintaan produk farmasi, alkes dan lain-lain. Tapi ini hanya sementara, karena sektor farmasi saat ini juga dipusingkan dengan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa. Sekitar 85% bahan baku obat (BBO) harus diimpor.

“Saat ini ada gangguan dari sisi rantai pasok BBO (supply chain), karena impor BBO terbesar Indonesia itu dari Cina dan India. Beberapa perusahaan yang sudah menerapkan skema hedging dalam mencukupi pasokannya agak berkurang ‘pusingnya’, tetapi tetap saja dalam jangka panjang situasi ini tidak menguntungkan. Semoga Cina segera pulih sehingga tidak timbul supply shock”, jelas Riwi.

Dalam kondisi ini bagi investor jika masih punya dana tunai yang longgar, tidak perlu terlalu buru-buru masuk ke pasar, lebih baik menunggu situasinya lebih jelas dan terkendali. Tidak masalah jika terlambat melangkah, tapi risikonya kecil, daripada bersikap agresif tapi dengan risiko yang besar di depan mata.
“Kalau mau ambil posisi, hendaknya bertahap, karena dugaan saya, IHSG masih ada ruang penurunan yang cukup besar. Angka moderatnya bisa ke level 3.800, ekstrimnya bisa ke 2.600”, terang Riwi.

Sejauh ini pemerintah sudah bertindak, tetapi memang ruang pengambilan keputusan saat ini tidak ada yang bebas risiko. Contoh apakah mau karantina wilayah atau PSBB atau yang lain, semuanya ada plus minusnya. Pengalaman di negara laini sudah membuktikan itu, ada kebijakan lockdown yang berhasil, ada yang gagal, demikian juga kebijakan social distancing. Intinya, jangan membebankan semuanya kepada pemerintah, semua warga negara bisa bertindak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
“Tidak ada gunanya perang argumen saat ini, harus ada kepatuhan, partisipasi aktif semua warga negara. Indonesia akan bisa melalui ini semua. “Badai pasti berlalu”. Saatnya kita berpartisipasi karena Indonesia memanggil kita,” tegas Riwi.

Riwi juga berharap kepada investor untuk tenang menyikapi situasi pasar yang sangat fluktuatif, bahkan bisa disebut turbulensi saat ini, tidak perlu panik karena sblm ini kita sudah pernah mengalami goncangan pasar dengan penyebab yg lain.
“Secara fundamental, harga saham saat ini sudah terdiskon banyak, PER IHSG juga rendah, yang berniat mau beli, bisa nyicil beli secara akumulatif untuk mengantisipasi jika harga saham masih turun lebih dalam lagi,” tutup Riwi. Humas UNS

Skip to content