Pakar HTN UNS: Pancasila Tidak Cukup Hanya Sosialisasi

UNS – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Riewanto mengatakan, Pancasila perlu dipelajari sejarahnya, dimengerti, dan dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara. Hal tersebut ia sampaikan karena saat ini Pancasila sering ditafsirkan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan.

“Pancasila tidak bisa diaktualisasikan sebatas sosialisasi, tidak cukup. Pancasila perlu dipahami asal-usulnya, dihayati, dimengerti, dan dilaksanakan bukan saja di lembaga pendidikan tapi juga di lembaga negara sampai pembentukan peraturan perundang-undangan dan itu tidak bisa hanya Perpres tapi harus dibentuk dalam UU,” ujar Dr. Agus Riewanto kala menjadi pembicara dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Konsensus Pancasila: Masa Kini dan Masa Datang” yang digelar oleh Tempo Media Group, Rabu (8/7/2020) malam.

Dalam dialog yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Tempo, Dr. Agus Riewanto menjelaskan 4 siklus Pancasila. Pertama adalah tahap konsensus Pancasila yang sudah dimulai sejak 18 Agustus 1945. Pada saat itu, para pendiri bangsa sudah menyepakati lima sila yang termaktub dalam Pancasila. Kelima sila itu harus dipegang secara utuh dan digunakan sebagai dasar negara.

“Kalau bicara konsensus dalam konstitusi, konsensus itu adalah kesepakatan mulia yang harus dijadikan pedoman oleh semua orang yang bersepakat saat itu. Itu sebabnya, konsensus itu tidak selalu menyangkut soal baik dan buruk atau salah dan benar tapi konsensus itu adalah soal bagaimana orang memegang apa yang sudah disepakati bersama,” lanjut Dr. Agus Riewanto.

Kedua adalah tahap pengenalan Pancasila. Dalam tahap ini, masyarakat telah mengenal Pancasila dengan berbagai cara yang telah diajarkan para pendiri bangsa.

Ketiga, tahap penganutan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menjadi dasar dan pedoman dari inspirasi kehidupan bernegara, termasuk menyangkut peran Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum ketatanegaraan di Indonesia.

Dan, yang keempat adalah tahap aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Dr. Agus Riewanto menilai pada tahap ini, problem yang dihadapi masyarakat cukup besar. Baginya, hal ini menjadi ujian dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila di berbagai kondisi.

“Dari perspektif tata negara, sebenarnya kita sejak 1998 pascareformasi kehilangan berbagai macam panduan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang menyangkut soal merumuskan kehidupan bernegara, melaksanakan kebijakan negara, sampai mengevaluasi kebijakan pembangunan. Padahal, semua aspek itu harus ada ukurannya,” jelasnya.

Berkaitan dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang sempat mendapat penolakan keras dari sejumlah kelompok masyarakat, Dr. Agus Riewanto mengatakan problem Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) tidak bisa dituangkan sebatas Peraturan Presiden (Perpres).

Dalam prakteknya, ia meminta agar PIP diatur dalam peraturan perundang-undangan. Alasannya agar parlemen dan masyarakat dapat menyepakati konsensus mengenai Pancasila dengan baik.

“Mari kita bikin konsensus baru bagaimana cara kita melakukan aktualisasi Pancasila dengan pembinaan ideologinya dan kelembagaan khusus yang nantinya bisa dikontrol publik. Sehingga publik bisa berpartisipasi di dalamnya. Tidak top down tapi bottom up yang lebih dari itu bersifat koordinatif dan bersifat ketersinambungan,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content