Pakar HTN UNS: Presidential Threshold Bukan Masalah Konstitusi

Pakar HTN UNS: Presidential Threshold Bukan Masalah Konstitusi

UNS — Presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Pemilu No. 7/ 2017 beberapa hari terakhir kembali ramai dibicarakan publik.

Pasalnya, sejumlah Partai Politik (Parpol) yang keberatan dengan aturan ini berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam waktu dekat. Mereka beralasan presidential threshold 20 persen terlalu tinggi sehingga membuat Pilpres tidak demokratis, menghambat figur muda untuk nyapres, dan membuat masyarakat terbelah.

Presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu memang mensyaratkan ambang batas suara yang harus diperoleh Parpol dalam Pemilu untuk dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Walau ambang batas 20 persen ini sudah diterapkan dalam Pilpres 2014 dan 2019 yang lalu, nyatanya masih banyak pihak yang menentang.

MK yang terus-menerus menerima gugatan ini, tercatat sudah mengeluarkan 13 putusan. Dan hasilnya, semua judicial review yang dilayangkan sejumlah pihak ditolak MK.

Menanggapi rencana itu, pakar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Riewanto mengatakan, presidential threshold bukanlah masalah konstitusi.

Sehingga tidak tepat apabila Parpol yang berencana mengajukan judicial review kembali menggugat Pasal 222 UU Pemilu.

Ia menilai, presidential threshold adalah tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan aturan turunan dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

“Kalau saya baca dari putusannya, MK mengatakan bahwa presidential threshold itu bukan persoalan konstitusional, tapi adalah open legal policy,” ujar Dr. Agus Riewanto dalam Tribun Overview, Kamis (6/1/2022) sore.

Dalam Pasal 222 UU Pemilu, calon Presiden dapat diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu yang mendapat perolehan 20 persen jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Sedangkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Dr. Agus Riewanto meyakini jika ada Parpol yang kembali mengajukan judicial review terhadap presidential threshold, MK akan tetap menolak dan konsisten pada putusan-putusan yang terdahulu.

Apalagi jika dalil-dalil yang dicantumkan dalam isi judicial review ke MK tidak jauh berbeda dengan penggugat-penggugat sebelumnya.

“Kenapa begitu? Kalau dilihat teoritik yang dikatakan MK itu tidak salah, kalau kita lihat ketentuan Pasal 222 batu ujinya itu sebenarnya ada di Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” jelasnya

Ia menyampaikan bahwa Pasal 222 UU Pemilu yang selama ini dipermasalahkan sejumlah pihak tidak bertentangan dengan konstitusi. Alasannya, Pasal 222 UU Pemilu juga aturan turunan dari Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.

Pasal ini mengatur bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam UU. Dan UU Pemilu adalah implementasinya.

“Kalau kita baca di Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, tata cara pelaksanaan Presiden diatur dalam UU. Jadi, presidential threshold adalah sesuatu yang bersifat normatif, artinya bukan masalah konstitusi tapi bergantung pada si pembuat UU,” kata Dr. Agus Riewanto.

Sisi positif Presidential Threshold

Meski ambang batas 20 persen dinilai beberapa pihak masih memberatkan, ia menilai aturan ini bisa menyeimbangkan kekuatan Presiden dengan DPR.

Sebabnya, Dr. Agus Riewanto tidak ingin hasil Pilpres dan Pileg pada tahun 2004 yang membuat hubungan Presiden dan DPR tidak harmonis berlanjut pada masa pemerintahan berikutnya.

Kala itu, tiket untuk kursi RI-1 dan RI-2 diperebutkan oleh lima pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) berhasil melenggang ke Istana dengan sokongan tiga Parpol kecil, yaitu Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Walau keduanya berhasil meraup 60,62 persen suara nasional atas pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Parpol pengusung SBY-JK tak memiliki taji di DPR.

“Ada dinamika yang tidak baik dengan parlemen, karena SBY hanya didukung tiga Parpol sedangkan Parpol besar termasuk pemenang Pemilu itu ada di parlemen,” ujar Dr. Agus Riewanto.

Ia menyampaikan, hal ini membuat pemerintahan SBY-JK limbung dan sering terjadi deadlock antara Presiden dan DPR. Bermula dari peristiwa ini maka presidential threshold mulai dinaikan persentase suaranya.

“Kalau mau mengubah ini tidak perlu diuji ke MK, caranya UU yang ingin dirubah pasalnya yang mengubah Presien dan DPR. Masalahnya keduanya sudah sepakat tidak mau mengubah UU Pemilu,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Y.C.A. Sanjaya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content