Pakar HTN UNS Tanggapi Wacana MPR Lakukan Amandemen UUD 1945 Secara Terbatas

Pakar HTN UNS Tanggapi Wacana MPR Lakukan Amandemen UUD 1945 Secara Terbatas

UNS — Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menggulirkan wacana untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini diungkapkan langsung oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo, saat Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD, Senin (16/8/2021) lalu.

Di hadapan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), jajaran Menteri Kabinet Indonesia Maju, anggota DPR, dan DPD, ia mengatakan amandemen UUD 1945 akan dilakukan secara terbatas.

Dan, salah satu agenda dalam amandemen kali ini adalah menambah kewenangan MPR untuk dapat menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai dasar pembangunan nasional jangka Panjang.

Menanggapi isu panas yang tengah bergulir tersebut, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Dr. Sunny Ummul Firdaus mengatakan, seyogyanya amandemen UUD 1945 haruslah menyempurnakan aturan dasar.

“Yang merupakan materi muatan UUD 1945, diantaranya adalah dari tatanan negara kedaulatan, HAM, pembagian kekuasaan, konsep negara demokrasi, dan hukum,” ujar Dr. Sunny saat dihubungi uns.ac.id melalui pesan singkat, Kamis, (26/8/2021).

Ia menyampaikan, amandemen UUD 1945, baik secara menyeluruh maupun terbatas, harus dikembalikan pada tujuan awal dari dibentuknya negara ini.

Hal itu dapat dilihat dari tujuan NKRI yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang terdiri dari melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam wawancaranya bersama uns.ac.id, Dr. Sunny yang juga Kepala Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) LPPM UNS juga mengomentari pernyataan Bambang Soesatyo yang menyebut ada dua pasal dalam UUD 1945 yang berpeluang diamandemen.

Bambang Soesatyo dalam keterangan resminya pada Jumat (20/8/2021) mengatakan, “Antara lain penambahan satu ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.”

Dr. Sunny menerangkan, soal amandemen pada Pasal 3 UUD 1945 merupakan pilihan politik bagi penyelenggara negara. Namun, harus ada alasan filosofis, historis, sosiologis, politis, dan teoritis di samping dukungan dari masyarakat luas yang terstruktur.

“Jika merupakan kewenangan MPR maka harus dikontruksikan bentuk hukum yang tepat bagi PPHN. Bentuk hukum akan mempengaruhi proses keberadaan PPHN terkait kemungkinan judicial review,” terang Dr. Sunny.

Lebih lanjut, perihal agenda amandemen terhadap Pasal 23 UUD 1945, Dr. Sunny mengutarakan, konstitusi Indonesia yang menerapkan sistem presidensiil dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power), digunakan untuk menjalankan prinsip check and balances.

Oleh sebab itu, pada prinsipnya pengaturan dan pengelolaan keuangan negara dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan dengan UU dan harus dibahas bersama untuk mendapat persetujuan antara Presiden RI dan DPR.

“Menurut saya tanpa mengamandemen pasal 23 UUD 1945 kedudukan DPR dalam hal keuangan sangatlah kuat, mengingat program-progam yang direncanakan oleh eksekutif tidak dapat dilaksanakan apabila DPR dengan fungsi anggaran yang dimiliki tidak dapat memberikan persetujuan sebagaimana mestinya,” tambahnya.

Kekhawatiran terhadap PPHN

Dr. Sunny mengatakan, apabila PPHN yang berulang kali disinggung Bambang Soesatyo benar-benar akan direalisasikan maka harus menjadi rujukan dan arahan/ direction bagi perencanaan, penyusunan, keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pembangunan pemerintah.

PPHN disebut Dr. Sunny harus dikonstruksikan agar mampu mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan. Dan, dalam penetapannya, PPHN haruslah applicable dengan visi misi dari semua yang terpilih dan apapun visi-misi Presiden tidak boleh keluar dari PPHN.

Hal itu disampaikannya menyusul kekhawatiran sejumlah pihak yang menilai penetapan PPHN akan mengembalikan Indonesia ke masa Orde Baru (Orba). Adapun, pada masa Orba, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) benar-benar menjadi guideline dalam agenda pembagunan nasional jangka panjang.

“PPHN harus di konstuksikan tidak merusak sistem presidensial yang selama ini telah berjalan.Sederhananya, selama ini presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat, semestinya bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan kepada MPR,” tandas Dr. Sunny.

Selain menyoroti soal kekhawatiran sejumlah pihak terhadap PPHN, ia juga menyinggung soal kemungkinan MPR menghidupkan kembali TAP MPR melalui amandemen UUD 1945 secara terbatas ini.

Dr. Sunny mengungkapkan, MPR tidak memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling). Sebab, pascaperubahan UUD 1945, MPR hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking).

“UUD sendiri tidak menyebutkan bahwa TAP MPR itu harus berisi pengaturan (regelling) dan berbentuk peraturan perundang-undangan. Menetapkan itu sebenarnya dapat hanya diartikan sebagai penetapan (beschikking) yang bersifat konkret, individual. Secara umum, implikasi keberadaan PPHN yang bersifat arahan harus dipastikan,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content