Pakar Sosiologi UNS Ulik Isu Rasisme Amerika di Forum ADI

UNS – Pakar Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Drajat Trikartono memberikan pandangan terkait topik Rasisme di Amerika Serikat pada Sabtu (25/07/2020). Agenda tersebut diselenggarakan secara online melalui Zoom Clouds Meeting dan live streaming melalui Facebook ADI oleh Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) bersama dengan Task Force Education Indonesia Diaspora Network (IDN) – United. Pada kesempatan tersebut hadir diaspora dari Amerika sebagai pembicara yaitu Dr. Muhammad Ali dari University of California Riverside dan Dr. Siti Kusujiarti dari Warren Wilson College North Carolina. Acara tersebut dipandu oleh Rezza Dian Akbar, S.IP., M.Sc., dosen Sosiologi dari FISIP UNS

Sebelum memulai diskusi Dr. Rachmadian Wulandana selaku Direktur Task Force Education Indonesia Diaspora Network (IDN) – United memberikan sambutan dalam agenda tersebut. Beberapa waktu lalu media informasi sempat dipenuhi oleh berita terkait George Floyd dan kampanye “Black Live Matters”. Berbagai sudut pandang membahas terkait topik tersebut. Agenda ini diharapkan bisa menjadi pemantik diskusi dan memberikan sudut pandang lain dari ilmu sosiologi.

Mengawali diskusi, pembahasan sejarah Amerika Serikat (AS) menjadi topik pembuka. Jika melihat lebih jauh isu rasisme telah ada dan turut berkembang dalam sejarah Amerika. Kasus George Floyd menjadi salah satu pemantik yang akhirnya menggerakan aksi untuk mengangkat isu rasisme di AS. Selain menyuarakan ketidakadilan yang dilakukan kepada George Floyd, massa juga melakukan aksi menghancurkan beberapa patung ikonik di AS, seperti patung Colombus.

“Protes itu punya kekuatan yang sangat panjang sejak Amerika berdiri atau memori protes terhadap ketidakadilan itu sampai kepada Amerika Itu berdiri,” tutur Dr. Muhammad Ali menjelaskan terkait aksi dihancurkannya patung Colombus.

Dijelaskan oleh Dr. Drajat perlu adanya pemahaman antara ras dan rasisme. Pada dasarnya ras merupakan perbedaan biologis, hampir sama seperti perbedaan gender. Ras sebagai bawaan lahir yang tidak bisa ditolak oleh seseorang. Didalam unsur ras sebenarnya tidak ada perbedaan apapun untuk dipermasalahkan, akan tetapi secara sosial ini terjadi perkembangan yang memunculkan stereotip bagi masyarakat. Stereotip tersebut timbul sebagai kebutuhan dari masyarakat untuk menentukan identitas seseorang.

“Walaupun identity itu ada yang relative, dalam buku atau penelitian saya bahwa seseorang itu tidak mungkin memiliki single identity. Selalu lebih dari satu identitas yang ada didalam diri seseorang,” jelas Dr. Drajat.

Lebih jauh stereotip inilah yang nantinya akan memunculkan prasangka kemudian penilaian-penilaian dimasyarakat. Karena terjadi secara terus menerus hal tersebut akhirnya menjadi pembenaran di masyarakat, bahkan berpengaruh terhadap aktivitas negara seperti tercermin pada norma-norma yang berlaku. Sehingga ras tersebut menjadi sebuah pemahaman yang disebut rasism.

AS yang dikenal sebagai negara bebas dan demokratik nyatanya tidak sepenuhnya benar. Munculnya aksi dengan seruan “Black Lives Matter” menjadi salah satu penanda bahwa negara tersebut tidak baik-baik saja. Toleransi belum berjalan dengan baik di negara tersebut. Dr. Siti Kusujiarti menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di Amerika sendiri sangat heterogen dan berasal dari berbagai latar belakang. Sehingga cukup banyak norma-norma yang secara tidak langsung bertabrakan.

Persaingan antar individu sangat ketat, ditambah lagi dengan konsep kapitalisme yang kental membuat pergerakannya semakin cepat. Jika tidak bisa beradaptasi dengan keadaan maka akan tertinggal. Pergerakan ekonomi ini juga menjadi salah satu arena berkembangnya kesenjangan yang mengarah pada rasisme.

Jika diperhatikan terdapat beragam rasa atau kelompok yang hidup di Amerika, tetapi mengapa isu kelompok berkulit hitam menjadi persoalan besar. Disebutkan oleh Dr. Muhammad Ali terdapat tiga faktor yang mempengaruhi. Pertama, keturunan kelompok tersebut telah lama berada di Amerika. Kedua, tidak dipungkiri secara fisik mereka terlihat mencolok dibandingkan dengan kelompok lain. Sehingga perbedaan dapat dilihat secara langsung. Terakhir, terkait faktor prinsip yang telah dipegang oleh masyarakatnya dalam menjalani tatanan di negara tersebut.

Antusiasme peserta dalam diskusi berjalan dengan interaktif, beberapa pertanyaan disampaikan kepada narasumber ditanggapi dengan baik. Sebagai penutup dalam diskusi tersebut disimpulkan oleh Dr. Siti Kusujiarti bahwa masalah ketimpangan masih dihadapi oleh berbagai negara di dunia. Persoalan itu perlu dihadapi bersama-sama. Solidaritas diperlukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kemudian Dr. Muhammad Ali menambahkan bahwa perbedaan yang saat ini tampak perlu dipahami sebagai aset atau kekayaan bukan hambatan atau ancaman. Sehingga tidak terjadi permasalahan yang menyebabkan satu sama lain saling menyerang. Perbaikan dibidang ekonomi menjadi salah satu poin untuk mengurangi adanya kesenjangan yang terjadi saat ini.

“Kasus Amerika harus menjadi warning bagi dunia. Karena pada komunitas atau negara yang segala rujukan nomor satu di dunia, isu masalah emosional masih terjadi di dalamnya. Dunia tetap akan mengalami problem emosional meskipun kita telah menjadi one village, one world.” tutup Dr. Drajat. HUMAS UNS

Reporter: Ratri Hapsari
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content