Pengamat Kajian Islam Politik UNS Sebut Indonesia Punya Peluang Besar menjadi Mediator Afghanistan-Taliban

Pengamat Kajian Islam Politik UNS Sebut Indonesia Punya Peluang Besar menjadi Mediator Afghanistan-Taliban

UNS — Taliban berhasrat mendirikan negara Emirat Islam Afghanistan usai menduduki Kabul. Mereka juga mengklaim, saat ini menjadi pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyat usai Presiden Ashraf Ghani melarikan diri ke Tajikistan.

Keberhasilan kelompok milisi bersenjata ini merupakan puncak dari serangkaian konflik militer dan politik dengan pemerintah Afghanistan yang sah. Sebelumnya, Taliban terus menargetkan serangan ke pasukan keamanan Afghanistan dan dengan cepat menyerang berbagai wilayah di seluruh negeri.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia sebenarnya sempat memberikan bantuan kepada Afghanistan-Taliban untuk menyelesaikan konflik mereka secara damai.

Bahkan, pada 2019 lalu, Delegasi Taliban dari Kantor Politik Taliban di Ibu Kota Doha, Qatar, sempat menemui Wakil Presiden (Wapres) RI Jusuf Kalla di rumah dinasnya di kawasan Menteng, Jakarta, untuk membicarakan upaya perdamaian.

Melihat potensialnya posisi Indonesia, dosen Program Studi (Prodi) S-1 Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Leni Winarni menyebut peluang Indonesia menjadi mediator cukup besar.

“Saya kira, peluang ini cukup besar karena Indonesia telah merintis hal itu sebelumnya. Artinya, Indonesia berpeluang sebagai aktor pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua kubu tersebut sebagai mediator,” ujar Dr. Leni Winarni, Rabu (18/8/2021).

Kepada uns.ac.id, Dr. Leni Winarni yang juga Pengamat Kajian Islam Politik dan Resolusi Konflik Internasional FISIP UNS ini turut menyampaikan, bisa saja Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Afghanistan di bawah kendali Taliban. Namun, perlu dilihat dulu perkembangan situasi di negara tersebut.

“Mungkin saja, tetapi sebaiknya Indonesia melihat perkembangan situasinya saja dulu. Karena pernyataan bahwa Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani yang menyerahkan kekekuasaan ke Taliban dan kemudian pernyataan petinggi Taliban, seperti Ghani Baradar, bahwa mereka telah menang dan menguasai pemerintahan itu sifatnya secara konstitusional masih ilegal,” terangnya.

Berkaitan dengan tawaran Indonesia untuk membantu penyelesaian konflik Afghanistan-Taliban secara damai, ia menerangkan jika Indonesia ingin membuat Afghanistan menjadi negara yang demokratis dan damai merupakan hal yang sulit.

Sebab, Indonesia merupakan pihak eksternal. Jika di waktu yang akan datang ada upaya-upaya diplomasi dengan membawa misi perdamaian, ia menyebut hal ini akan membawa dampak positif.

“Tetapi mengembalikan perdamaian secara total di negara itu, tergantung dengan penguasa, faksi-faksi, dan komponen masyarakat yang ada di negara itu sendiri. Sebuah negara mana pun tidak akan benar-benar menjadi damai, kecuali atas upaya sendiri,” kata Dr. Leni Winarni.

Kekhawatiran Terhadap Kekuasaan Taliban

Selain menyoroti besarnya peluang Indonesia sebagai mediator, Dr. Leni Winarni turut mengungkapkan kekhawatirannya terhadap Afghanistan jika pemerintahan dipegang oleh Taliban.

Ia mengatakan, keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan sangat tidak diduga. Sebab, menurut prediksi Amerika Serikat (AS), kelompok milisi bersenjata itu baru dapat menguasai Afghanistan dalam waktu tiga bulan.

“Situasi ini sangat mengejutkan dan ternyata meleset dari prediksi AS, yang mengatakan kalau Taliban akan menguasai Afghanistan sekitar tiga bulan ke depan, ternyata Taliban bisa melakukannya hanya dalam beberapa minggu saja,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Dr. Leni Winarni mengutarakan, keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan dapat menjadi kekhawatiran dunia internasional jika pernyataan-pernyataan Taliban yang ingin membentuk pemerintahan yang moderat tidak terbukti.

“Jika tidak terbukti di kemudian hari, tentu di bawah kekuasaan Taliban, Afghanistan akan kembali lagi pada keadaan yang sama seperti 20 tahun yang lalu,” tambah Dr. Leni Winarni.

Dalam hal ini, ia meminta agar semua pihak tetap ‘wait and see’ sembari menunggu pernyataan petinggi Taliban apakah mereka mampu mewujudkan kekuasaan yang berbeda dengan 20 tahun silam.

Sebelumnya, pada konferensi pers pertama yang digelar Taliban pada Selasa (17/8/2021), mereka mengatakan akan memberikan kebebasan bagi perempuan untuk bekerja dan masuk ke dalam pemerintahan, tidak ultra konservatif, dan menghormati hak-hak sipil.

“Jika memang pernyataan-pernyataan itu konsisten dan Taliban mampu membuktikannya pada dunia internasional, tentu kepercayaan akan mulai tumbuh pada negara itu di bawah kepemimpinan Taliban,” lanjutnya.

Dr. Leni Winarni menjelaskan kekhawatirannya soal keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan, harus dilihat dari dua analisis, yaitu di level internasional dan domestik.

Pada tingkat internasional, ia menyampaikan, Taliban dapat menjadi ancaman regional bagi kawasan dan akan meningkatkan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga.

Selain itu, kesuksesan Taliban menguasai Afghanistan dikhawatirkan dapat menjadi trigger dan idola bagi kelompok-kelompok ekstrem lainnya di dunia.

“Kemudian, di level domestik, tentu terkait masa depan HAM di negara itu, khususnya  peningkatan pelanggaran terhadap hak perempuan dan anak, humanisme, dan tindak kekerasan lainnya,” tambahnya.

Ia mengkhawatirkan jika Taliban benar-benar berkuasa di Afghanistan dalam waktu yang lama, dalam situasi saat ini mereka bisa saja melancarkan balas dendam kepada pihak-pihak yang sempat bekerja/ terlibat dalam pemerintahan yang sebelumnya.

“NATO, jurnalis, aktivisis HAM, dan siapa pun yang vokal dapat menjadi target ancaman. Mungkin iya (Taliban dapat berkuasa), tetapi mungkin juga tidak. Karena biasanya, jika tidak bisa me-manage dengan baik kelanjutan dari kemenangan itu, bisa saja menimbulkan perpecahan di tubuh Taliban sendiri karena perebutan pengaruh dan kekuasaan,” kata Dr. Leni Winarni. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content