Politik Islam dalam Sejarah Surakarta

Pergumulan politik di kerajaan tradisional baik di Kerajaan Demak hingga Mataram selalu mengikutsertakann Islam pada pusaran konflik. Demikian diungkapkan oleh Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd dalam acara Pengukuhan Guru Besar, Kamis (25/4/2013) di Gedung Auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS).

Guru besar bidang ilmu politik sejarah islam ini menuturkan bahwa Islam bukan kekuatan ideologis negara, melainkan kekuatan akar rumput. Dengan begitu, kekuatan itu beresiko besar direpresi oleh penguasa apabila berseberangan dengan arus politik pemerintah.

Pemisahan urusan dunia dan agama diterapkan oleh Raden Patah dengan konsep umur al-dunya-umur al-din. “Melalui konsep ini, Raden Patah berharap elit berpegang pada etika dan moralitas politik, perdagangan menjadi kekuatan ekonomi negara, dan elit dan ulama memperkuat massa politik pendukung Kerajaan Demak,” jelas dia. Sebagai konsekuensinya, terdapat kesederajatan antara raja dan ulama.

Akan tetapi, konsep ini ditentang oleh Syekh Siti Jenar yang tidak mengharapkan adanya keterlibatan ulama dalam praktik politik. Sebab dikhawatirkan akan melanggengkan konsep kekuasaan illahiah. Kemudian, di era Amangkurat I dan Amangkurat II kesepadanan politik itu dihapuskan. Raja menjalankan praktik absolutisme berbingkai sekularisme yang tidak berbagi ruang partisipasi politik dengan rakyat.

“Represi politik itu berakibat timbul polarisasi ulama, yaitu ulama birokrasi dan non-birokrasi. Ulama birokrasi berada di istana dan tersubordinasi oleh kekuasaan, sedangkan ulama non-birokrasi menyingkir dari pusat kekuasaan, berperan sebagai cultural broker masyarakat pedesaan,” tambah dia.

Dengan adanya praktik kekuasaan illahiah, hampir seluruh ranah ekonomi dan politik dikuasai oleh para elit politik, dan struktur politik itu jauh dari usaha pemberdayaan ekonomi maupun pembangunan politik. Akibatnya, terdapat kemunculan liyan atau the other dalam relasi kehidupan sosial yang dipergunakan pemerintah Belanda untuk memperlemah kekuatan politik rakyat dan melindungi modal usaha mereka.

Di sisi lain, dengan adanya kemunculan liyan, terdapat kemunculan konsep Islam ‘nahdah’. “Konsep ini ditangkap aristokrat protagonis sebagai pemberdayaan masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi hegemoni kolonial Belanda. Salah satu tokoh pemberdaya masyarakat Surakarta adalah Sayikin Malikul Kusno (Paku Buwono X). Dengan gagasan itu, dia merelakan fasilitas dan finansial yang dimiliki untuk pemberdayaan masyarakat Surakarta,” pungkasnya.[]

Skip to content