PPG Tak Hanya untuk “Guru”

Dengan penuh semangat, Arif Antono selaku staf khusus Diktendik Dikti menyampaikan materi pada Seminar Nasional Pendidikan di Aula Gedung F FKIP UNS, Sabtu (2/5/2015).

Beberapa puluh tahun ke belakang, kita sering mendengar ungkapan guru tanpa tanda jasa. Guru adalah suatu profesi yang tidak mendapat perhatian lebih dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah. Namun, ungkapan tersebut tampaknya sudah tidak lagi relevan. Pemerintah kini begitu memerhatikan profesi guru. Seperti yang disampaikan staf khusus Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Diktendik Dikti), Arif Antono pada Seminar Nasional Pendidikan. “Sekarang guru adalah suatu profesi dengan penghargaan lebih melalui sertifikasi guru mulai tahun 2006,” ungkapnya mengawali seminar rangkaian Dies Natalis ke-39 UNS di Aula Gedung F FKIP UNS, Sabtu (2/5/2015).

Dengan penuh semangat, Arif Antono selaku staf khusus Diktendik Dikti menyampaikan materi pada Seminar Nasional Pendidikan di Aula Gedung F FKIP UNS, Sabtu (2/5/2015).
Dengan penuh semangat, Arif Antono selaku staf khusus Diktendik Dikti menyampaikan materi pada Seminar Nasional Pendidikan di Aula Gedung F FKIP UNS, Sabtu (2/5/2015).

Bersama Ketua PGRI Kota Surakarta Sugiaryo dan Wakil Dekan 1 FKIP UNS Sajidan, Arif yang menggantikan Supriyadi Rustad mengulas tentang kompetensi guru, Pendidikan Profesi Guru (PPG), dan sikap PGRI terhadap PPG. Ketiga pembicara tersebut membuat seminar yang diikuti sekitar 350 orang dari berbagai kota di Jawa Tengah begitu hangat dan atraktif. Pembicara beberapa kali melontarkan pertanyaan yang membuat peserta ikut bersuara. Bahkan Arif Antono pun turun dari podium untuk lebih dekat menyapa peserta seminar.
Menurut Arif, PPG merupakan program pengganti akta IV yang tidak berlaku sejak tahun 2005. Melalui PPG, lulusan S-1/D-IV non-kependidik pun dapat menjadi guru dengan syarat mengikuti matrikulasi yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk menutupi kekurangan jumlah pendidik untuk jenjang SMK, dimana rasionya mencapai 1:23 (paling tinggi dibanding jenjang pendidikan lain).
Nantinya, PPG akan digunakan menggantikan pola sertifikasi guru yang sudah ada sebelumnya. Sugiaryo menjelaskan ada dua alasan mengapa PPG harus digunakan. Pertama, karena pola PPG lebih variatif dan komprehensif dibanding sertifikasi. Lalu, waktu PPG lebih lama dibandingkan sertifikasi. Sehingga PPG diyakini lebih baik dari sertifikasi.
Walaupun PPG dirasa penting untuk meningkatkan kompetensi guru, Ketua PGRI Kota Surakarta tersebut menyatakan tidak setuju dengan adanya PPG. Dalam seminar, Sugiaryo menegaskan bahwa lulusan non-kependidikan belum menguasai konsep pendidikan. Matrikulasi yang ada pun menurutnya hanya formal belaka.
Sedangkan menurut Sajidan, PPG merupakan sarana untuk kualifikasi profesi guru yang sangat penting. Karena apapun kurikulum yang tengah berlaku, kuncinya ada pada guru. Sehingga seorang guru yang profesional sangatlah diharapkan untuk terciptanya lulusan baik yang lebih banyak.
“Sebagai contoh seleksi guru, di Singapura yang sangat ketat. Awalnya calon guru harus mengirimkan Curriculum Vitae (CV) dengan disiplin ilmunya yang sesuai. Kemudian calon guru harus gemar (memiliki kecintaan—Red.) pada anak-anak. Tahap selanjutnya adalah interview yang digunakan untuk melihat sikap, bakat, dan kepribadian calon guru. Tahap terakhir adalah melakukan training (PPL—Red.) yang dimonitor langsung oleh pengampu,” tuturnya memberi gambaran seleksi guru profesional di Singapura.
Berakhir sekitar pukul 13.00 WIB, ketiga pembicara tersebut memberikan closing statement bahwa dokter yang malpraktik hanya membuat satu orang mati. Namun jika guru salah ngajar, maka tujuh sampai sepuluh generasi akan mati. Hidup Guru! [] (afifah.red.uns.ac.id)

Skip to content