Psikolog UNS: Rayakan Setiap Pencapaian Baik Ketika Gagal Maupun Berhasil

Psikolog UNS: Rayakan Setiap Pencapaian Baik Ketika Gagal Maupun Berhasil

UNS — Ketika mengharapkan sesuatu hal, terkadang hasil yang didapatkan membuat perasaan menjadi kecewa, sedih, ataupun bahagia. Perasaan ini sangat wajar untuk dirasakan. Namun, dalam menghadapi realita, satu hal terpenting adalah mengetahui bagaimana cara mengelolanya. Baik saat menghadapi realita yang diinginkan maupun realita yang tidak diinginkan.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Laelatus Syifa Sari A, M.Psi., Psikolog, mengatakan bahwa mempersiapkan fisik dan mental adalah salah satu cara untuk menghadapi realita. Kemudian menerimanya sebagai bagian dari proses perjalanan. Menghadapi realita tak hanya berlaku bagi yang mengalami kegagalan, namun juga bagi yang mengalami keberhasilan.

“Menghadapi realita yang sesuai harapan, sangat mudah bagi kita untuk menyesuaikan diri. Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah realita yang berbeda dengan yang kita inginkan? Misalnya saja, kita dihadapkan dengan kegagalan, maka kita juga harus menghadapinya dengan menerima. Kemudian dilanjut dengan membuat langkah-langkah baru yang akan mendekatkan kita pada tujuan yang hakiki,” ungkap Laelatus dalam acara UNS BISA (Bincang & Sapa) yang mengusung tema Rayakan Setiap Pencapaian, Jumat (8/7/2022).

Laelatus menambahkan, pengumuman tentang hasil terkadang membuat kita lupa bahwa selama ini kita sudah melakukan banyak hal. Jadi, yang perlu dipersiapkan adalah mengingat kembali masa-masa perjuangan kita. Memang benar, hasil yang sesuai dengan harapan akan membawa emosi positif, sedangkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan akan membawa emosi negatif.

“Namun, apapun emosi yang akan datang, kita harus mengingat kembali setiap kerja keras dan usaha yang sebelumnya sudah dilakukan, dan kita harus merayakan setiap pencapaian itu, baik gagal atau berhasil. Ketika kita merayakan kebahagiaan, kita hanya perlu merayakan secukupnya. Ketika kita merasakan kesedihan, kita juga perlu mengekspresikan secukupnya. Caranya dengan menyelami dan memahami emosi dalam diri. Merasakan emosi tersebut agar kita bisa mengekspresikan emosi tersebut dengan tepat,” ucap Laelatus.

Sebagaimana yang diungkapkan Laelatus, setiap emosi yang datang, apapun emosinya kita harus menerima dengan memberi space untuk emosi tersebut ada di dalam diri. Hal ini supaya kita bisa memahami sebenarnya apa yang sedang kita rasakan. Merasakan, menyelami emosi dan tidak menolaknya membuat kita menemukan point of view baru dalam diri. Mengidentifikasi apakah emosi ini, adalah bagian dari emosi bahagia, emosi bersyukur, emosi berterima kasih, emosi penyesalan, atau emosi kecewa, dan sebagainya. Karena dengan memahami jenis emosi apa yang sedang dirasakan, maka kita akan mengetahui bagaimana cara mengelolanya dengan baik.

Adapun menurut Laelatus, ketika mendapatkan realita yang tak sesuai harapan, yang pertama akan kita rasakan adalah tahap denial atau penyangkalan. Kemudian tahap kedua adalah anger atau amarah. Kemarahan terjadi sebagai bentuk penyaluran emosi. Keluar dari tahapan itu kita kemudian melewati tahap bargaining atau menawar. Tahapan ini muncul ketika kita mulai menawarkan apapun untuk bisa menghindari rasa sakit. Selanjutnya kita akan merasakan tahap depresi. Kita merasakan kenyataan yang terjadi sebagai sebuah rasa sedih, emosi, merasakan kehilangan, bahkan menangis. Kemudian pada tahap terakhir adalah penerimaan. Tahap ini ketika kita sudah melupakan dan menerima emosi dari kenyataan yang ada, dan disitulah akan muncul rasa penerimaan. Tahap penerimaan ini akan memberi space pada emosi yang kita rasakan.

“Lima tahapan tersebut mengajarkan kita bahwa perasaan kecewa, sedih, menyesal adalah sesuatu hal yang normal. Kita sebagai manusia membutuhkan emosi negatif itu untuk senantiasa belajar dan mengevaluasi dari setiap hasil yang telah didapat kemarin,” lanjut Laelatus.

Tanamkan Mindset: Goal Mindset dan Growh Mindset

Laelatus menerangkan dalam memanajemen emosi, kita bisa menanamkan goal mindset dan growth mindset. Menanamkan konsep goal mindset dan growth mindset ini berhubungan dengan cara kita merasakan usaha selama ini. Goal mindset jadi mindset yang cenderung melihat hasil dibanding proses atau usaha yang sudah kita keluarkan. Sedangkan growth mindset cenderung melihat proses dan usaha kita.

“Berbicara mengenai goal mindset dan growth mindset akan membantu kita mengevaluasi mengapa kita gagal. Mengapa kita belum berhasil, menilik kembali apa yang kurang, faktor seperti apa yang menghambat dan faktor apa saja yang bisa menjadi pendukung. Goal mindset dan growth mindset dari segi penerapannya, harus seimbang. Karena ketika kita hanya menerapkan goal mindset yang ada kita bisa menderita. Karena tidak semua hal sesuai dengan yang kita inginkan. Cara membuatnya seimbang adalah dengan menyetel pula pemikiran growth mindset,” kata Laelatus.

Laelatus juga mengatakan bahwa hidup menjadi lebih menarik selama kita memiliki harapan. Harapan itu perlu tetap hidup, meski realita yang didapat terkadang tak sesuai dengan keinginan. Karena dengan harapan akan selalu bergerak dan mengembangkan energi positif ke dalam diri kita.

“Ketika kita menghargai setiap kerja keras, akan memunculkan motivasi untuk lebih menghargai. Berterima kasihlah kepada diri sendiri atas usaha, kerja keras yang sudah dilalui,” pungkas Laelatus. Humas UNS

Reporter: Lina Khoirun Nisa
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content