Sarasehan Nasional: Aturan Karya Sastra Jawa Modern Lebih Longgar

Kepala Prodi Sastra Daerah, Supana saat sampaikan sambutan di Teater Terbuka Arga Budaya UNS sebelum hujan turun.
Kepala Prodi Sastra Daerah, Supana saat sampaikan sambutan di Teater Terbuka Arga Budaya UNS sebelum hujan turun.

Program Studi Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (FIB UNS) Surakarta menggelar sarasehan nasional bertajuk “Proses Kreatif Panganggitipun Kasusastraan Jawa Modern”, Kamis (22/9/2016). Acara yang membahas mengenai proses kreatif penciptaan karya sastra Jawa modern ini awalnya digelar di Teater Terbuka Arga Budaya UNS pada 20.00 WIB, sebelum akhirnya dipindah ke Ruang Seminar Gedung III FIB karena hujan pada malam tersebut.

Dalam sarasehan tersebut, ada tiga narasumber yang diminta untuk mengisi, yakni Bambang Nursinggih (ahli puisi Jawa atau geguritan), Nyai Puncak Solo (praktisi dan penampil di Wisma Seni dan Radya Pustaka), dan Ardini Pangastuti (pecinta bahasa dan sastra). Mereka bertiga menyampaikan tiga materi berbeda sesuai dengan minat dan keahlian masing-masing.

Dua pembicara dari Yogyakarta yakni Ardini memberikan materi tentang pembuatan novel Jawa modern dan Bambang yang menyampaikan keindahan dalam menampilkan puisi Jawa. Sedangkan satu pembicara dari Surakarta yakni Nyai Puncak menyampaikan kemudahan dalam membuat puisi Jawa modern.

222
Nyai Puncak Solo saat tampilkan kebolehannya membaca ‘geguritan’ (puisi Jawa modern).

Ketua panitia yang juga staf pengajar prodi terkait, Prasetyo Adi Wisnu Wibowo mengungkapkan bahwa kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa dan para pecinta budaya, bahasa, dan sastra Jawa bisa mengenal lebih dekat dan juga mengetahui bagaimana cara membuat karya sastra Jawa modern.

Di era karya sastra Jawa modern ini, lanjutnya, aturan-aturan pembuatannya tidak serumit dan seketat karya sastra Jawa kuna yang hidup pada zaman Hindu dan Budha. Jenis sastra modern ini mendapat pengaruh usai masa kolonialisme. “Jadi, masuk pengaruh Eropa, kita mencoba meniru dan memasukkan budaya Eropa yang lebih bebas untuk karya sastra kita,” terangnya.

333
(dari kiri) Ardini Pangastuti, Bambang Nursinggih, Nyai Puncak Solo dan moderator sarasehan.

Salah satu narasumber yakni Nyai Puncak menerangkan bahwa membuat karya sastra itu tidaklah rumit. Pengalaman bisa menjadi modal untuk membuat karya sastra, tidak hanya pengalaman pribadi tapi juga bisa mengambil pengalaman orang lain. “Selain itu, Anda semua bisa mengamati fenomena-fenomena yang ada di sekitar Anda untuk dijadikan tema karya Anda,” tuturnya dengan bahasa Jawa halus.

Lebih lanjut, tema juga memegang peranan penting karena hal itu juga berkaitan dengan pemilihan kata (diksi) yang akan dipakai. Jika temanya tentang percintaan, tentunya memakai diksi yang romantis. Jika tema yang diambil mengenai pertengkaran dan dendam, tentunya pemilihan kata berbeda dengan tema asmara.[](dodo.red.uns.ac.id)

Skip to content