Sosiolog UNS: Perlunya Sistem Sosial dalam Menghadapi Maraknya Mudik Dini

UNS— Saat ini pemerintah menggalakkan pembatasan aktivitas sosial sebagai salah satu langkah memutus rantai penyebaran Covid-19. Hal ini mengakibatkan beberapa daerah menjadi sepi dan aktivitas perekonomian menjadi terganggu.

Adanya himbauan pemerintah tersebut dampaknya sangat terasa bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal terlebih lagi mereka yang berada di luar kota. Hal ini membuat sebagian masyarakat memutuskan untuk kembali ke kampung halaman hingga situasi membaik.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. rer.nat. Nurhadi berpendapat bahwa fenomena masyarakat kembali ke kampung halaman di tengah pandemi Covid-19 merupakan hal yang wajar dilakukan. Secara naluri ketika seseorang terancam oleh suatu hal pasti mereka akan mencari perlindungan. Fenomena mudik dadakan ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu ancaman terhadap kesehatan dan berkurangnya sumber penghasilan khususnya bagi para pekerja informal yang ada di kota. Diperkirakan pekerja di sektor informal tersebut cukup banyak, lebih dari 40%.

“Mereka mungkin lebih tepat disebut sebagai pengungsi, bukan pemudik, karena secara kultural ketika seseorang mudik pasti dalam keadaan menang, dalam keadaan bahagia, keadaan yang bagus, dan ketika tiba di kampung halaman akan menampilkan kebahagiannya. Saat ini masyarakat kembali ke desa dalam keadaan serba sulit, di kota tidak dikehendaki, di desa mereka ditolak. Mereka sudah mengalami masalah di kota, lalu ketika kembali ke desa dianggap sebagai pembawa penyakit atau sumber masalah bagi orang-orang sekitar,” papar Dr. rer.nat. Nurhadi kepada uns.ac.id pada Rabu (1/4/2020).

Masyarakat lebih memilih kembali ke desa karena di desa memiliki jaringan pengaman sosial yang lebih baik dibandingkan dengan kota. Ketika berada di desa, mereka tidak terlalu khawatir dengan urusan pangan. Sementara kota tidak memberikan perlindungan karena umumnya mereka adalah pekerja di sektor informal.

“Posisi mereka saat ini sebenarnya sulit karena bagi kota yang ditinggali, mereka tidak terlalu dikehendaki. Pada sisi yang sama, ketika kembali ke desa, mereka juga kurang dikehendaki oleh masyarakat sekitar,” jelasnya.

Dalam situasi saat ini, pemerintah berperan untuk mengawasi dan mendata para pemudik supaya dapat terdeteksi dengan mudah. Beberapa daerah juga sudah menerapkan langkah tersebut di wilayah-wilayah perbatasan. Sehingga data berupa riwayat kesehatan, asal daerah, pekerjaan, alamat di desa, tanggal kepulangan dapat digunakan untuk memetakan apakah pemudik berpotensi terpapar virus corona atau tidak. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan untuk meminimalisir penyebaran virus. Dr. Nurhadi mengatakan bahwa dalam situasi banyaknya pemudik seperti sekarang ini, diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.

“Terkait peraturan tertulis mengenai larangan kembali ke kampung saat terjadi wabah, memang tidak ada. Tetapi, jika pemerintah daerah tidak menghendaki kedatangan pemudik, maka harus ada peraturan tertulis yang detail dan sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. Kemudian, ketika masyarakat sudah kembali ke desa, maka seharusnya tidak sekadar mereka yang proaktif mengisolasi mandiri, tetapi juga sistem dalam masyarakat harus turut berperan. Terdapat pemimpin lokal yang berperan serta dalam memastikan atau mendorong agar masyarakat tidak mengalami disorganisasi sosial dan disfungsi sosial” jelasnya.

Disorganisasi sosial ini akan memicu timbulnya prasangka buruk serta diskriminasi. Disfungsi sosial juga akan menimbulkan kekacauan dalam tatanan masyarakat karena masyarakat tidak dapat menjalankan fungsi sosial sesuai status sosialnya. Hal ini menjadikan masyarakat merasa takut, cemas, dan was-was dalam melakukan aktivitas sosial. Dua hal ini yang dapat dikendalikan oleh tokoh-tokoh lokal.

Dr. Nurhadi berpesan bagi masyarakat yang berada di daerah zona merah agar tidak pulang hingga situasi membaik. Begitu juga bagi masyarakat yang berada di zona aman, jangan pulang dahulu karena di daerah tidak terpapar tentu relatif lebih aman. Namun, apabila keadaan memaksa untuk pulang, maka masyarakat yang pulang kampung harus siap untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Selain itu mereka juga harus proaktif melaporkan kondisi kesehatan kepada fasilitas kesehatan terdekat. Secara sosial, di desa sudah cukup kondusif karena masyarakat desa cenderung tidak individualis dan lebih peduli satu sama lain.
“Pendekatan kekeluargaan sebenarnya lebih tepat diterapkan. Masyarakat di desa tidak perlu dipaksa karena mereka pasti menyadari perannya sebagai anggota masyarakat dan mereka harus memastikan apa yang dilakukan tidak merugikan orang banyak. Modal tersebut yang saya rasa dimiliki oleh masyarakat di desa.
Sistem sosial yang ada di masyarakat tersebut yang akan memberikan upaya pencegahan penularan virus” tuturnya.

Beliau juga berpendapat bahwa perlu ada penerjemahan terhadap konsep social distancing dan physical distancing ke dalam konsep-konsep yang berlaku di tingkat lokal. “Misal dalam konsep physical distancing yang mengharuskan satu individu dengan individu lain menjaga jarak, tetapi ada masyarakat yang harus berjabat tangan ketika bertemu karena sudah menjadi norma dan kebiasaan. Sehingga diperlukan bahasa-bahasa yang dapat diterima oleh masyarakat setempat agar physical distancing tersebut tidak diartikan seperti menghilangkan hal-hal atau norma baik yang ada di masyarakat” tutup Dr. Nurhadi.Humas UNS/Bayu

Skip to content