Sosiolog UNS Tanggapi Fanatisme Sepakbola yang Kembali Telan Korban

Sosiolog UNS Tanggapi Fanatisme Sepakbola yang Kembali Telan Korban

UNS — Jagat sepakbola Indonesia kembali berduka. Pasalnya, pertandingan pekan ke-11 BRI Liga 1 yang mempertemukan Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang pada Sabtu (1/1/2022) lalu menelan ratusan korban jiwa.

Banyaknya jiwa yang melayang dalam pertandingan Arema FC vs Persebaya tidak hanya menggemparkan publik Tanah Air, tapi juga negara-negara lain. Bahkan, Presiden FIFA, Gianni Infantino dan Paus Fransiskus ikut bersimpati dengan kejadian memilukan ini.

Perhatian yang sama turut diungkapkan oleh Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Drajat Tri Kartono. Menurut Dr. Drajat, “Tragedi Kanjuruhan” dipicu oleh fanatisme suporter yang merusak kelompoknya sendiri.

Ia juga menambahkan, kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan adalah bentuk kekecewaan suporter atas kekalahan Arema FC atas Bajul Ijo. Sayangnya, kekecewaan mereka dilampiaskan kepada kelompoknya sendiri (manajemen klub).

“Jadi, kejadian yang di Malang itu memang ada beberapa dimensi. Bahwa kejadian itu menjadi kacau balau, ‘kan ada orang banyak,” kata Drajat saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (4/10/2022).

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa kericuhan di Stadion Kanjuruhan Malang semakin menjadi-jadi karena adanya “pihak” yang menghalang-halangi ekspresi kekecewaan suporter.

“Karena menghalangi ekspresi itu, kemudian jadilah kaya ngamuk ke semua arah. Bentrok dengan aparat juga. Ya, karena aparat harus berada di tengah-tengah juga. Karena tidak ada Bonek, jadi mereka menyerang ke dalam,” ujar Drajat.

Drajat juga menilai bahwa peristiwa tersebut merupakan bukti ketidaksepahaman antara manajemen klub dan suporter. Hal ini dikatakan Dr. Drajat memicu konflik di dalam dan menyulut emosi.

“Bahwa pengorganisasian identity dalam in group itu akan mudah menyerang ke dalam kalau ada perpecahan di dalam kelompok itu,” kata Drajat.

Kenapa Fanatisme Seringkali Membawa Kerugian?

Berkaitan dengan kericuhan suporter di Stadion Kanjuruhan yang dipicu kekecewaan suporter karena klub yang dijagokan dipecundangi Persebaya, Dr. Drajat memandang kejadian ini berkaitan dengan fanatisme.

Ia menjelaskan fanatisme seperti pada suporter sepakbola- adalah identifikasi diri yang memasukkan orang-orang ke dalam in group feeling. Hal ini ditandai dengan kesamaan perasaan, pandangan, dan simbol dalam kelompok yang sama.

“Nah, di dalam in group feeling dibangunlah koneksi yang membangun mereka adalah in group identity. Identitas kelompok kemudian disebarkan ke seluruh anggota dengan harapan mereka punya komitmen penyamaan simbol, persepsi, dan gerak sehingga menjadi satu kesatuan,” terangnya.

Dalam hal ini, Drajat menyampaikan bahwa fanatisme berpeluang semakin menjadi-jadi apabila dipengaruhi oleh kompetisi dengan kelompok lain. Jadi, muncul dorongan untuk melindungi dan memperjuangkan kelompoknya sendiri terhadap kelompok lain.

“Di situ muncullah sebuah komitmen penyatuan identitas yang kemudian harus dipertahankan. Ini diperkuat oleh keterkaitan antara kelompok itu dengan identitas-identitas lain, seperti identitas kedaerahan,” jelas Drajat.

Ia mengatakan, fanatisme seringkali membawa kerugian karena memicu orang-orang untuk bersikap tidak toleran. Menurut Drajat, berkurangnya rasa toleransi karena fanatisme merupakan hal yang otomatis terjadi.

“Karena perasaannya ke dalam sehingga kalau ada yang dianggap menghalang-halangi kelompoknya atau merusak kelompoknya ya tindakan agresi. Kalau tidak terorganisir dan duduk dengan baik, muncullah agresi,” sambung Drajat.

Ia mengatakan bahwa munculnya sikap tidak toleran terhadap orang-orang di luar kelompok karena fanatisme juga mendorong perilaku irasional. Sehingga, mereka yang kadung fanatik dengan sesuatu dapat menyerang penegak hukum pemerintah, atau pihak lain yang dinilai mengganggu kelompoknya.

“Sehingga kemudian terjadi pengabaian terhadap norma-norma masyarakat,” tutur Drajat.

Cara Menghadapi Fanatisme

Tragedi Kanjuruhan beberapa hari yang lalu hanyalah satu dari kejadian berdarah dalam sepakbola Indonesia. Sebelumnya, kejadian yang sempat mencuri perhatian publik terjadi ketika suporter Persija tewas dikeroyok oknum Bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada tahun 2018 yang lalu.

Dua kejadian memilukan tersebut dapat dijadikan contoh bagaimana fanatisme dalam sepakbola Indonesia membuat orang-orang gelap mata sampai tega menghabisi nyawa orang lain.

Menurut Drajat, fanatisme yang ditunjukkan suporter di Stadion Kanjuruhan Malang biasa terjadi dalam dunia sepakbola. Bahkan, fanatisme yang hampir mirip dialami oleh beberapa kelompok pehobi kendaraan bermotor dan silat.

Meski begitu, ia memeringatkan risiko bahaya apabila fanatisme yang berlebihan tidak dikelola dengan baik. Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan fanatisme membawa kerugian, yakni gagalnya pengorganisasian dan edukasi.

“Ini sebenarnya pelajaran bagaimana mengorganisir in group feeling agar mereka punya saluran. Karena (fanatisme) itu pasti tersalurkan,” kata Drajat.

Supaya fanatisme tidak membawa kerugian termasuk dalam pertandingan sepakbola, Drajat menyarankan agar hierarki kelompok yang besar diorganisir dengan baik.

Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun pendidikan di in group feeling agar anggotanya memiliki berbagai alternatiif kegiatan. Jadi, harus diajak ke kegiatan-kegiatan lain, seperti membantu penanganan bencana alam,” saran Drajat. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus
Redaktur: Dwi Hastuti

Skip to content