Surakarta Kota Ternyaman di Indonesia, Sejarawan UNS: Multikulturalisme Sudah Ada Sejak Lama

UNS — Baru-baru ini Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia merilis daftar kota paling nyaman atau paling layak huni di Indonesia. Dari survei yang dilakukan terhadap 26 kota di 19 provinsi, Kota Surakarta menempati posisi pertama sebagai kota paling nyaman.

Predikat tersebut tentu disambut baik oleh masyarakat Kota Bengawan. Selain memiliki fasilitas kesehatan dan transportasi yang memadai, Kota Surakarta juga dinilai memiliki fasilitas keagamaan yang baik.

Kota Surakarta yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, sudah menjadi tempat tinggal warga dari berbagai agama sejak lama. Hal itu dapat dibuktikan dengan berdirinya masjid, gereja Katolik, gereja Kristen, wihara pura dan klenteng.

Selain keberagaman agama, Kota Surakarta juga menjadi tempat tinggal bagi warga berbagai etnis. Mulai dari orang Arab, Tionghoa, dan Eropa sudah menghuni kota ini sejak lama.

Hal ini dibenarkan oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Warto. Ia mengatakan multikulturalisme bukan barang baru di Kota Surakarta.

“Cirinya Kota Solo ya kota multietnis. Kalau jaman kolonial ada kelompok Eropa, Timur Asing ada Arab dan Cina, dan pribumi,” ujar Prof. Warto kepada uns.ac.id pada Senin (15/2/2021).

Ia menerangkan Kota Surakarta yang pada jaman penjajahan Belanda masuk dalam daerah Vorstenlanden, masyarakatnya memang sudah terbiasa hidup berdampingan walau berbeda agama dan etnis.

Prof. Warto memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang baik sebab masyarakat Kota Surakarta dapat memupuk rasa toleransi. Hal itu dapat dilihat dari digelarnya berbagai acara keagamaan dan budaya di Kota Surakarta tanpa ada yang mengusik .

“Solo sebagai wilayah dari Vorstenlanden itu menunjukkan multikulturalisme yang sudah ada sejak dulu. Artinya, bahwa hidup berdampingan antaretnis dan antaragama, sudah ada sejak dulu dan saling menghargai,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan peran etnis non-pribumi bagi Kota Surakarta dapat dilihat dari berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Ia mencontohkan besarnya kontribusi orang Tionghoa sebagai roda penggerak ekonomi di Pasar Gede.

“Melihat kehadiran di Surakarta, bisa menjadi faktor penguat karena peran orang mereka (red: etnis nonpribumi) di Surakarta itu mungkin berbeda dengan yang lain dan itu sangat menonjol juga dalam berbagai hal,” ujarnya.

Walau dahulu pernah terjadi gesekan antaretnis di Kota Surakarta, Prof. Warto mengatakan konflik yang pernah terjadi tidak lantas memudarkan harmoni di kota ini.

Baginya, isu perpecahan di Surakarta hanya bersifat spekulatif belaka. Ia membantah adanya pola historis berulang pada konflik antaretnis di kota ini. Untuk itu, Prof. Warto meminta kejadian buruk dimasa lalu tidak boleh kembali terulang.

“Tidak boleh kedepan begitu. Dan, hal ini ini menjadi kekayaan pengetahuan sejarah kita yang mesti harus diaktualisasikan,” tandasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content