Tinggal Hampir 5 Tahun di Illinois AS, Dosen UNS Salieg Luki Munestri Rindukan Suasana Ramadan di Tanah Air

Tinggal Hampir 5 Tahun di Illinois AS, Dosen UNS Salieg Luki Munestri Rindukan Suasana Ramadan di Tanah Air

UNS – Selama hampir 5 tahun terakhir, Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Salieg Luki Munestri, M.A. menjalani Ramadan di Kota DeKalb, Illinois, Amerika Serikat (AS). Hal itu dikarenakan dirinya harus melanjutkan studi S3 di Department Political Science, Northern Illinois University (NIU). Sama seperti banyak negara di AS, islam merupakan agama minoritas. Banyak cerita dan makna yang didapatkannya, termasuk kerinduannya dengan suasana Ramadan di Indonesia.

Saat dikonfirmasi uns.ac.id pada Rabu (29/3/2023), Salieg bilang bahwa kesamaan puasa di Illinois dengan Indonesia hanya prosesnya. Yakni sebelum fajar sampai maghrib, selebihnya tentu banyak perbedaan. “Yang membedakan tentunya panjangnya waktu puasa. Alhamdulillah tahun ini tidak sepanjang tahun-tahun kemarin. Tahun ini kira-kira mulai 05:20 pagi – 07:30 malam waktu Illinois. Semakin mendekati awal tahun, semakin pendek harinya. Ini karena disini ada 4 musim, yang menentukan panjangnya siang hari. Saat tahun 2018 saya kesini, kebetulan itu masih musim panas. Jadi siang hari lebih panjang daripada malam hari, sahur kira-kira 04:30 pagi dan buka 09:30 malam,” sebutnya.

Selain itu, Dosen Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional (HI) FISIP UNS ini juga mengaku bahwa suasana Ramadan di Illinois sama sekali tidak terasa. Mengingat, hanya ada 1 masjid yang aktifitasnya tidak sehidup di Indonesia. Bahkan dirinya tidak pernah mendengar azan berkumandang dari masjid secara langsung selama hampir 5 tahun terakhir.

“Banyak yang dirindukan dengan suasana Ramadan di Indonesia. Seperti azan dan suara-suara ramainya masjid, suasana tarawih, ramainya anak-anak TPA, undangan-undangan reuni buka bersama, suasana ngabuburit yang ada jajanan dimana-mana, dan masakan ibu pastinya. Disini tidak banyak opsi masakan, sebagian besar hanya menu-menu Amerika, dan orang-orang tidak bisa asal jualan di pinggir jalan. Jadi setiap hari harus masak sendiri,” ungkapnya.

Terlebih muslim yang menjadi minoritas, maka Salieg menemui berbagai tantangan saat menjalankan puasa di luar negeri. Ia berpuasa tanpa orang-orang disekitarnya tahu. Meskipun terkadang ia menyampaikan kalau sedang puasa, tapi kebanyakan dari masyarakat disana tidak paham apa bulan Ramadan. Meski demikian, teman-temannya yang paham dengan pluralitas, biasanya juga mengucapkan selamat Ramadan. Beruntungnya, komunitas Indonesia yang tinggal di DeKalb kebanyakan Muslim. Sehingga mereka terkadang bergantian saling mengundang untuk acara buka bersama dengan menu-menu Indonesia. Selain mengobati kerinduan tanah air, Salieg merasa punya keluarga baru. Bahkan ketika lebaran, selalu ada acara kumpul-kumpul dengan komunitas Indonesia sesama muslim.

“Di Indonesia, muslim menjadi kelompok mayoritas, sedangkan di banyak negara, muslim menjadi minoritas. Kita mendapat banyak privilege yang luar biasa di Indonesia. Sementara disini dan kebanyakan tempat selain Indonesia, kami yang harus memahami bahwa kami minoritas dan harus memahami situasi di sekitar. Masih bersyukur Amerika negara demokratis, yang sangat melindungi hak-hak asasi manusia. Jadi kebebasan beragama, berbicara, dan lain-lain sangat terasa. Tidak saling ganggu atau saling turut campur dengan orang atau kelompok lain. Jadi tidak pernah ada yang menyinggung masalah agama satu sama lain. Toleransi sangat terasa,” pungkas Salieg. Humas UNS

Reporter: Dinda N. Ardilla

Redaktur: Dwi Hastuti

Skip to content