Tingkatkan Pengetahuan Seni Budaya Pada Anak, Tim Riset FSRD UNS Lakukan Pengabdian Melalui Pembuatan Wayang Godhong

UNS — Usia 4 – 5 tahun merupakan fase di mana anak mulai belajar beberapa aspek seperti gerakan, berpikir, perasaan, dan interaksi baik dengan sesamanya maupun dengan benda di sekitarnya. Fase tersebut sering disebut dengan periode sensitif atau masa peka. Kepekaan pada anak-anak tidak hanya terjadi pada objek-objek kecil dan detil, tetapi juga terjadi pada kehidupan sosialnya. Oleh karena itu, kepekaan tersebut perlu dirangsang dan diarahkan sehingga perkembangannya tidak terhambat.

Masa peka juga menjadi awal pembentukan pondasi karakter anak sebelum ia beranjak dewasa. Selain fisik-motorik, aspek sosial dan intelektual serta emosi anak pada usia 4 – 6 tahun juga perlu dirangsang dengan nilai-nilai baik yang berlaku di lingkungan masyarakat. Di sinilah diperlukan keterlibatan peran keluarga, masyarakat, dan sekolah untuk membentuk budi anak didik, yaitu moral sehingga menghasilkan kecerdasan pikir dan kekuatan kehendak.

Tergabung dalam Reseach group penciptaan seni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Purwantoro, M.Sn atau kerap disapa dengan Gus Pur melakukan pengabdian masyarakat di Sanggar Seni Mijilan, Dusun Pringapus, Kalisalak, Salaman, Magelang pada Minggu (27/6/2021) pagi. Bersama dengan Prof. Dr. Narsen Afatara, M.S., Drs. Soepono Sasongko, M.Sn., dan Jazuli Abdin Munib, S.Sn., Gus Pur memberikan pelatihan pembuatan Wayang Godhong pada anak-anak di Sanggar Seni Mijilan. Tidak hanya memberikan pelatihan pembuatan Wayang Godhong, anak-anak juga akan mementaskannya secara sederhana.

“Anak-anak akan diajak melihat proses pembuatan Wayang Godhong, praktek membuatnya serta mementaskannya secara sederhana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak-anak usia dini di Sanggar Seni Mijilan,” ujar Dr. Agus Purwantoro.

Wayang Godhong merupakan wayang kontemporer yang dibuat dari godhong (daun) jati dan kopi yang kering. Penggunaan limbah daun kering tersebut juga menjadi upaya cinta lingkungan hidup yang ditanamkan pada anak-anak. Selain itu, pemanfaatan kembali limbah daun kering juga sesuai dengan program unggulan UNS, yaitu Green Campus. Gagasan Wayang Godhong terbentuk lantaran Gus Pur merasa empati terhadap resistensi petani tembakau pada tahun 2010.

“Wayang Godhong ini mencoba mentransformasi fungsi wayang yang awalnya sebagai karakter dalam pertunjukan saja kemudian diubah menjadi media edukasi untuk menyampaikan kisah-kisah tentang kebajikan dan pesan tentang kehidupan,” tuturnya.

Gus Pur juga mengimbuhkan bahwa Wayang Godhong sarat akan makna dan patut dikenalkan pada anak usia dini sebagai bentuk pengenalan terhadap seni dan budaya Jawa. Kedepannya, generasi penerus bangsa Indonesia diharapkan dapat melestarikan salah satu warisan budaya Jawa dalam hal seni, yakni wayang yang telah diakui oleh UNESCO sebagai masterpiece of the oral and intagible herritage of humanity. Artinya, wayang tidak hanya dimaknai sebagai perwujudan fisik dari wayang itu sendiri, tetapi juga pada sisi lakon dan ritus yang menyertainya. Humas UNS

Reporter: Alinda Hardiantoro
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content