UMKM Harus Gesit Berinovasi di Era Disrupsi

UNS – Berinovasi atau tertinggal. Begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan pentingnya untuk berinovasi di era disrupsi saat ini. Tak terkecuali bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Karena itu, Pusat Studi Pendampingan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (PSP-KUMKM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengadakan konferensi internasional 7th UNS SME SUMMIT & Awards 2018 yang bertajuk “Enhancing Small Medium Enterprise Competitiveness Based on Creative Economy in Innovation Disruption” di UNS Inn, Selasa (11/10/2018).

Hadir sebagai pemateri Prof. Ishak Bin Yussof (Ketua ICD UKM Malaysia), Dr. Tai  Wan Ping (Cheng Shiu University, Taiwan) Prof. Warapon Boonsuthip (Departement of Food Science and Technology, Thailand) dan Retno Tanding, S, SE., M.E, Ph.D (Dosen Fakultas Ekonomi &  Bisnis UNS).

Berbicara soal inovasi produk UMKM di era disrupsi, Retno mengatakan bahwa Jepang masih menjadi salah satu negara yang memiliki pertumbuhan inovasi tertinggi di Asia pada 1991-2011 berdasarkan data World Bank. “Malaysia punya pengalaman dalam meningkatkan jumlah inovasi. Kemudian Jepang dan Korea masih yang terbesar dalam pertumbuhan inovasi,” kata Retno Tanding sambil menunjukkan beberapa grafik dalam presentasinya.

Sedangkan Indonesia, berdasarkan grafik, masih tertinggal jauh dari kedua negara tersebut. Padahal di era sekarang ini, perusahaan dituntut harus semakin berani menggali ide baru agar tidak tergilas perubahan. Misalkan dengan memanfaatkan potensi teknologi.

Prof. Warapon memberikan gambaran bagaimana produk makanan akan berubah di masa depan karena kemajuan teknologi. Ia mengatakan, ke depannya bakal ada printer makanan 3D, yang mana setiap keluarga dapat memproduksi makanannya sendiri. Bahkan juga bisa menentukan bahan dan kadar nutrisinya sendiri. “Kamu bisa program printer ini dengan spesifik bahan, nutrisi dan desain. Kamu bisa print steak, mie atau makanan lainnya,” kata Prof. Warapon.

Pemanfaatan teknologi dalam memproduksi inovasi produk makanan ini sudah dilakukan oleh produsen makanan ternama, Nestle. Nestle menggabungkan antara kecerdasan buatan (AI) dengan DNA untuk menghasilkan produk makanan sehat yang dibutuhkan per individu. Warapon menerangkan bahwa setiap manusia memiliki kondisi tubuh yang berbeda sehingga perlu makanan yang berbeda pula. Jika apa yang dimakan sesuai dengan kebutuhan tubuh, maka kondisi kesehatannya juga akan baik. Hasilnya, manusia pun diprediksi bisa hidup lebih lama yakni lebih dari 100 tahun.

Belajar dari hal itu, Retno mengatakan UMKM di Indonesia perlu memahami pasar, khususnya apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan target konsumen, sebelum menciptakan produk inovasi. Selain itu, kelincahan dalam pemanfaatan teknologi dan kolaborasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produk UMKM di era inovasi disruptif. “Mengutip kata Pak Presiden, berkolaborasi adalah kunci untuk memajukan bisnis, meskipun pada akhirnya  saling menyingkirkan satu sama lain,” ungkapnya.

Kolaborasi UMKM juga dapat dilakukan dengan Universitas. Prof Ishak lantas menceritakan pengalamannya sebagai ketua ICD UKM di Malaysia. Kata Prof. Ishak, ketika industri ada masalah, universitas bisa mengajukan riset untuk dibiayai oleh pemerintah, kemudian industri pun akhirnya mendapatkan solusi.

Prof Ishak juga menyarankan agar kurikulum perguruan tinggi atau lembaga pendidikan selalu senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan industri. Sehingga, lulusannya nanti dapat langsung mengikuti perkembangan industri yang berubah begitu cepat.

Menurut prediksi Tai Wan Ping, ke depannya bakal banyak perusahaan Taiwan yang ingin berkolaborasi dengan perusahaan Indonesia. Terlebih lagi, adanya kebijakan baru pemerintah Taiwan “New Southward Policy”, dimana pemerintah Taiwan akan meningkatkan investasinya di negara Asia Tengara, termasuk Indonesia.

Sementara itu, Kepala Haki dan Regulasi BeKraf Ari Yuliano Gema, yang juga hadir sebagai keynote speaker menyarankan agar UMKM segera mendaftarkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), agar tidak menimbulkan sengketa merek di kemudian hari. Sebab, akan semakin banyak inovasi yang bermunculan di era disrupsi.

“Ada 8,2 juta perusahaan ekonomi kreatif di Indonesia, tapi baru 11 persen yang mendaftar HAKI. Kebanyakan dari mereka tidak sadar pentingnya HAKI tapi ada juga lantaran biaya pendaftaran yang mahal. Tapi kami punya program pembiayaan penuh untuk pendaftaran HAKI untuk UMKM. Harapannya bisa meningkat menjadi 50 persen,” kata dia kepada wartawan. Humas UNS

Skip to content