UNS Kembali Tambah Tiga Guru Besar

UNS – Setelah awal bulan November kemarin Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengukuhkn tiga Guru Besar, kini UNS kembali mengukuhkan tiga Guru Besar baru. Ketiga Guru Besar ini yaitu Prof. Pranoto M.Sc merupakan Guru Besar di Bidang Kimia Lingkungan Air pada FMIPA, Prof. Dr. Munawir Yusuf M.Psi Guru Besar Bidang Ilmu
Manajemen Pendidikan Inklusif pada FKIP dan Prof. Dr. Eng. Syamsul Hadi S.T, M.T Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Mesin pada FT. Ketiga Guru Besar ini akan dikukuhkan pada Senin, (18/11/2019) di Auditorium UNS.

Dalam Jumpa Pers yang digelar di Goela Kelapa Manahan Jumat (15/11/2019), Deputi Humas UNS, Dr Intan Novela QA mengatakan bahwa Prof. Dr.Pranoto ini merupakan Guru Besar ke-207 UNS dan ke- 15 FMIPA, kemudian Prof. Munawir Yusuf merupakan Guru Besar ke-208 dan ke- 62 FKIP serta Prof. Dr. Eng. Syamsul Hadi merupakan Guru Besar ke-209 UNS dan ke- 11 FT.

Prof. Dr. Pranoto akan menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dengan judul “Pemanfaatan Lempung Aktif Alofan Sebagai Adsorben Alam Dalam Pengelolaan Lingkungan Air yang Berkelanjutan”.

Prof. Pranoto mengatakan penelitian telah dilakukan terhadap Natural Adsorbent yang dikenal dengan ALOFAN merupakan lempung aktif yang menunjukkan kemampuan sebagai penyerap logam berat, zat warna dan bahan berbahaya beracun (B3), didorong oleh serapan yang lebih dari 90 % kontaminan. Konsentrasi optimum untuk aktivasi karena pada konsentrasi tersebut alofan mampu menyerap logam kromium (Cr) sebesar 0,050 mg/g dan persentase penyerapan sebesar 99,63% , logam besi (Fe) sebesar 0,250 mg/g dan persentase penyerapan sebesar 99,81%, logam timbal (Pb) sebesar 2,818 mg/g dan persentase penyerapan sebesar 70,43%, logam mangan sebesar 0,192 mg/g dan persentase penyerapan sebesar 89,5%, logam tembaga (Cu) sebesar 0,188 mg/g dan persentase penyerapan sebesar 93,93%, dan logam kadmium (Cd) sebesar 0,116 mg/g dan persentase penyerapan sebesar 98,96% (Pranoto, et.al, 2013).

Logam berat adalah benda padat atau cair yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk setiap cm3. Beberapa ion logam berat tersebut juga banyak ditemukan pada hasil proses industri dan pertambangan yang apabila melebihi ambang batas akan berpotensi sebagai limbah.

“Limbah yang dibuang dari pabrik tersebut ketika tidak dikontrol akan menyebabkan pencemaran lingkungan yang dapat meracuni penduduk yang tinggal disekitar pabrik tersebut. Logam yang dapat menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat saja. Terjadinya keracunan logam paling sering disebabkan pengaruh pencemaran lingkungan oleh logam berat (Clark, R.B., 1986). Logam esensial seperti Cu dan Zn dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada manusia, tetapi logam non esensial seperti Hg, Pb, dan Cd sama sekali belum diketahui kegunaannya walaupun dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan keracunan pada manusia,” kata Prof. Pranoto.

Penelitian menunjukkan bahwa alofan alam dapat dimanfaatkan sebagai adsorben ion logam berat karena alofan mempunyai porositas tinggi, lorong yang saling berhubungan dan permukaan yang kasar, dan mempunyai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi. Alofan alam diaktivasi secara fisik, mekanik, dan kimia untuk membuka pori-pori alofan alam dari pengotor dan meningkatkan luas permukaan spesifiknya, sehingga diperoleh kemampuan adsorpsi yang optimal. Jenis aktivator, konsentrasi aktivator, dan waktu aktivasi divariasi untuk mempelajari pengaruhnya terhadap kemampuan adsorpsi alofan.

Lalu Prof. Dr. Munawir Yusuf akan menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dengan judul “Pendidikan Inklusif : Paradigma Baru Pendidikan bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Manajemen Sekolah”.

Prof. Munawir mengatakan, International Labour Organization (ILO), pada tahun 2017 merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa jumlah penyandang disabilitas di dunia diperkirakan mencapai sekitar 15% dari populasi. Dari jumlah ini, antara 110 juta sampai dengan 190 juta orang dewasa mengalami kesulitan fungsional, dan sekitar 93 juta anak atau satu dari 20 di antaranya di bawah usia 15 tahun hidup dengan kondisi disabilitas.

Jumlah orang yang mengalami disabilitas akan terus bertambah seiring perubahan jumlah penduduk dan bertambahnya usia. Pola disabilitas nasional dipengaruhi oleh trend kondisi kesehatan, ekologi, gaya hidup dan faktor lainnya, seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh, tindak kekerasan, bencana alam dan konflik, makanan yang tidak sehat, dan penyalahgunaan zat. Anak-anak dari rumah tangga miskin dan kelompok minoritas juga berisiko tinggi mengalami disabilitas. Perempuan dan anak dengan kondisi disabilitas cenderung mengalami “diskriminasi ganda”, kekerasan berbasis gender, penganiayaan dan marginalisasi.

Di Indonesia, menurut Pusdatin Kementerian Kesehatan, jumlah penyandang disabilitas saat ini mencapai 11,580,117 orang, di antaranya 3,474,035 (penyandang disabiltais penglihatan), 3,010,830 (penyandang disabilitas fisik), 2,547,626 (penyandang disabilitas pendengaran), 1,389,614 (penyandang disabiltias mental) dan 1,158,012 (penyandang disabilitas kronis). WHO menyebutkan di Indonesia terdapat sekitar 24 juta orang yang tergolong disabilitas, termasuk orangtua, disabilitas mental dan intelektual.

Dari jumlah tersebut menurut Badan Pusat Statistik, baru 40% Penyandang Disabilitas usia sekolah yang bersekolah dan 60% sisanya belum mendapat layanan pendidikan yang optimal. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi angka partisipasi pendidikan bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia yang masih rendah, antara lain disebabkan (1) faktor geografis jarak tempat tinggal anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan sekolah luar biasa (SLB), (2) kesadaranan masyarakat terhadap pendidikan yang berperspektif disabilitas masih rendah, (3) persepsi masyarakat bahwa sekolah bagi penyandang disabilitas hanya di SLB, dan (4) masih banyak sekolah regular yang belum bersedia menerima siswa dari penyandang disabilitas.

“Jika sistem layanan pendidikan bagi anak dengan kebutuhan khusus hanya bertumpu pada pendekatan konvensional dengan mengandalkan ketersediaan SLB, maka dapat dipastikan bahwa akan semakin banyak anak dengan kebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dicari cara agar hak pendidikan bagi semua anak (termasuk anak dengan kebutuhan khusus) dapat dipenuhi sesuai dengan tuntutan perundang-undangan,” ujar Prof. Munawir.

Kemudian Prof. Dr. Eng. Syamsul Hadi akan menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul ‘Energi Terbarukan untuk Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan’. Energi merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan. Kebutuhan akan ketersediaan energi tersebut akan terus meningkat seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi.

Energi yang bersumber dari fosil (non-renewable energy) masih menjadi kebutuhan utama di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia yang menjadikan energi bersumber fosil (non-renewable energy) sebagai sumber energi utama kebutuhan nasional (ESDM, 2019).

Dewan Energi Nasional dalam buku Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019 yang memberikan gambaran proyeksi permintaan dan penyediaan energi nasional dalam kurun waktu 2019-2050 berdasarkan asumsi sosial, ekonomi dan perkembangan teknologi ke depan dengan menggunakan baseline data tahun 2018 menyatakan bahwa kapasitas pembangkit listrik sampai dengan tahun 2018 mencapai 64,5 GW atau naik sebesar 3% dibandingkan kapasitas tahun 2017. Kapasitas terpasang pembangkit listrik tahun 2018 sebagian besar berasal dari pembangkit energi fosil khususnya batubara (50%), diikuti gas bumi (29%), BBM (7%) dan energi terbarukan (14%).

Sedangkan pembangkit angin dan biomasa yang termasuk energi terbarukan meskipun sudah ada namun kecil peranannya. Melihat dari permasalahan atas krisis energi nasional mendorong pemerintah untuk berupaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan (renewable energy).

Kebijakan Energi Nasional (KEN) mengamanatkan target bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer paling sedikit 23% pada tahun 2025 dan meminimalkan penggunaan minyak bumi kurang dari 25% pada tahun 2025. Salah satu upaya untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yaitu program Green Building Program. Program ini mengatur penggunaan sumber daya secara efisien pada sebuah bangunan dalam seluruh siklus hidupnya (Nguyen dkk, 2017).

“Potensi air sebagai sumber energi terbarukan (renewable energy) sangat menjanjikan di Indonesia mengingat bahwa tingginya curah hujan di Indonesia rata-rata bulanan pada tahun 1961 – 1993 di wilayah Indonesia dihitung dengan menggunakan parameter model ECMWF (European Center for Medium Range Weather Forecast) adalah 250 mm (Aldrian, 2000) serta pertumbuhan pembangunan bangunan bertingkat yang sangat tinggi memberi keuntungan dalam memanfaatkan air limbah yang mengalir dalam pipa untuk kebutuhan pembangkit skala pico/nano,” kata Prof. Syamsul. Humas UNS

Skip to content