UNS Kukuhkan Dosen FIB sebagai Guru Besar UNS ke-178

Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mendapatkan guru besar baru yang datang dari Fakultas Ilmu Budaya. Adalah Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D. yang menjadi Guru Besar UNS ke-178 dan Guru Besar FIB ke-21. Ia mengemukakan pendapatnya yang disampaikan dalam pidato pengukuhannya dengan judul “Representasi Pertarungan Ideologi dalam Sastra” di Auditorium UNS, Kamis (26/5/2016).

Mugijatna saat sampaikan pidato pengukuhannya yang berjudul "Representasi Pertarungan Ideologi dalam Sastra".
Mugijatna saat sampaikan pidato pengukuhannya yang berjudul “Representasi Pertarungan Ideologi dalam Sastra”.

Menurutnya, sastra, di mana pun dan kapan pun, akan merepresentasikan pertarungan ideologi pada zamannya. Hal ini dikarenakan sastra merupakan lokus dari sebuah ideologi. Dalam pidato pengukuhan Mugijatna sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu Kajian Budaya dengan fokus Sastra, hal inilah yang ingin ditunjukkan, di mana pertarungan ideologi akan selalu ada di setiap karya sastra dalam periode-periode tertentu. Pada periode sastra Jawa Baru, muncul pertarungan antara ideologi keagamaan “puritanisme” dengan ideologi keagamaan “kebatinan”. Pertarungan ini muncul karena pandangan Pakubuwana IV yang mengatakan bahwa dalam menunaikan ritual kegamaan, harus berpegang teguh kepada syariat. Sementara di sisi lain, Mangkunegara IV membantah gagasan tersebut dengan mengatakan bahwa yang pantas berada di tanah Jawa adalah “agama ageming aji”. Menurut Mangkunegara, dalam Wedhatama, bagi orang Jawa tidak perlu terlalu banyak mengikuti syariat, melainkan sedikit syariat saja sudah cukup. Pertarungan antara kedua ideologi keagamaan pada periode sastra Jawa Baru ini sangat sengit, dan direpresentasikan dalam Serat Gantoloco yang dianggap oleh banyak pihak merupakan sastra yang vulgar dan kontroversial.

Adapun dalam periode sastra kolonial, muncul pertarungan antara ideologi kolonialisme dengan ideologi anti-kolonialisme. Karya sastra kolonial cenderung menampilkan ideologi kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dengan tujuan untuk membudayakan bangsa jajahan yang masih “biadab” sehingga kolonialisme atas negara-negara Timur oleh negara-negara Barat merupakan hal yang sah. Selain itu, Mugijatna juga menyentil sejarah karya sastra yang dihasilkan pada waktu era sastra dan budaya modern Indonesia yang berlangsung dari 1935 hingga 1939, Orde Lama, dan juga Orde Baru. (Baca ringkasan pidato selengkapnya: Representasi Pertarungan Ideologi dalam Sastra)

Rektor UNS Ravik Karsidi dan Ketua Senat UNS Suntoro saat pasang samir untuk Mugijatna.
Rektor UNS Ravik Karsidi dan Ketua Senat UNS Suntoro saat pasang samir untuk Mugijatna.

Rektor UNS Ravik Karsidi dalam sambutannya mengatakan bahwa seluruh karya sastra dibuat tidak hanya untuk dibaca, tapi juga harus dipahami oleh semua kalangan. Karya sastra bisa menjadi masukan, kritik, bahkan bisa menjadi bagian apresiasi pada suatu bidang tertentu karena berdasarkan paparan Mugijatna, karya sastra bersinggungan dengan politik dan juga sosial budaya di masyarakat. “Kalau beliau (Mugijatna—Red.) ini merupakan mubalig, maka karya sastra juga bisa digunakan untuk berdakwah,” ujarnya. Ravik juga mengucapkan selamat kepada Mugijatna yang telah mendapat jabatan akademik tertinggi di UNS.[] (anggiayu.red.uns.ac.id)

Skip to content