UNS Tanggap Lakon “Sebelas Maret (Semar) Bangun Kahyangan”

Dalam usaha membangun sebuah Kahyangan, Semar rela mati demi apa yang ia yakini. Membangun kahyangan tidak diartikan sebagai membangun istana tempat tinggal dewa di angkasa sana, tapi membangun jiwa dalam diri manusia.

Langit masih mendung dan sekilas suara gludhug terdengar garang. Rumput halaman gedung rektorat—sekarang gedung pusat dr. Prakosa—juga masih basah. Namun, tampak mahasiswa serta masyarakat sekitar kampus tetap berbondong-bondong memasuki teratak yang telah disediakan. Sabtu malam (14/3/2015) adalah malam yang ditunggu. Tradisi yang sama, tradisi yang lama. Malam itu, Dies Natalies Universitas Sebelas Maret (UNS) menggelar ringgit purwa dengan lakon termahsyur “Semar Mbangun Kahyangan”.
IMG_5251
Lakon ini bukan hanya menceritakan Semar sebagai abdi sejati Pandawa—yang dalam kisah ini melakukan perlawanan terhadap Pandawa karena dirasa semakin melenceng dari ajaran semula. Namun, Semar kali ini juga disimbolkan sebagai “Sebelas Maret” yang berpartisipasi dalam membangun negeri Indonesia. Dengan semboyan baru yaitu BISA, kepanjangan dari berbudaya kerja ACTIVE, Internasionalisasi, Sinergi, dan Akselerasi, UNS berkomitmen untuk berkarya untuk Indonesia. Untuk mengawinkan dua ide kali ini, Ki Cahyo Kuntadi didapuk sebagai dalang. Dalang muda asal Klaten ini memiliki prestasi prestisius yaitu juara dalam Festival Dalang Sedunia di Khazakhstan.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Rektor UNS, Ravik Karsidi, menyerahkan tokoh utama dalam lakon ini yaitu Semar kepada Ki Cahyo Kuntadi. “Pagelaran ringgit purwa badhe kawiwitan, sak lajengipun kulo pasrahaken dhumateng panjenengan, Ki Dalang Cahyo Kuntadi, S.S., M.S., mugi Allah paring barokah,” ujar Ravik sembari menyerahkan wayang yang dibarengi bunyi gong sebagai tanda pergelaran wayang dimulai.

IMG_5259
Walaupun segudang prestasi telah direngkuh, Ki Cahyo Kuntadi pun tidak segan-segan mengucap rasa terima kasih kepada UNS yang telah mempercayakan seorang dalang muda untuk mengisi acara sebesar ini. Dia juga mengapresiasi UNS yang telah mendukung dalang-dalang muda untuk tetap berkarya. Kesempatan harus diberikan kepada dalang-dalang muda yang tidak lama lagi harus menggantikan peran dalang gaek macam Ki Mantep Sudarsono, Ki Anom Suharto, hingga Ki Purbo Asmoro. Selain itu, demi langgengnya suatu pentas wayang, sehebat apapun dalangnya jika tidak ada yang menonton akan sama saja. Peran masyarakat sangat diharapkan untuk mendukung kelestarian budaya asli indonesia ini.

Membangun batin

Kisah dimulai dari kegerahan Semar melihat pemerintahanan Pandawa yang melenceng ke arah yang tidak benar. Bencana terjadi dimana-mana dan kejahatan merajalela. Kegelisahan ini membuatnya berencana untuk membuat kahyangan. Kresna yang mengetahui rencana tersebut naik pitam, dia melapor kepada Bathara Guru di kahyangan Suralaya. Mendengar Semar ingin membuat semacam kahyangan tandingan, Bathara Guru meminta Kresna menghalangi Semar.
Kresna memegang peran besar dalam lakon ini. Kesalahannya adalah ia tidak memeriksa apa sebenarnya yang direncanakan Semar dan tidak menanyakannnya. Pandawa yang mendapat pengaruh lebih olehnya, mengikuti apa yang dikatakan oleh Kresna. Perintah Kresna adalah menghentikan Semar atau membunuhnya.
Ki dalang juga menonjolkan sikap setia seorang anak kepada bapaknya lewat tokoh Gareng, Petruk, dan Bagong yang diperintahkan melawan Pandawa. Meskipun dikemas dengan banyolan khas Punakawan, inti cerita yang sederhana ini disampaikan dengan menawan. Dialog antar tokoh ini merupakan semacam quotes panjang yang terus diucapkan oleh dalang.
Namun, Punakawan memang bukan tandingan Pandawa. Punakawan yang terdesak, kembali ke rumah menghadap Semar. Werkudara dan Arjuna mencoba menyerang Semar. Namun, guru mereka sejak kecil ini ternyata lebih sakti hingga serangan mereka tidak ada yang mempan. Akhirnya, Puntadewa yang menghadapi Semar. Tidak seperti saudaranya, Puntadewa menanyakan apa maksud Semar membangun Kahyangan. Puntadewa terbelalak dan menangis dihadapan Semar.
Alunan gamelan yang megah semakin memperkuat suasana syahdu. Puntadewa bahkan tak sampai hati untuk berlutut dan memeluk Semar. Hari itu mereka tahu bahwa membangun Kahyangan bukan membangun suatu yang lahir melainkan yang batin. Membangun Kahyangan adalah membangun jiwa atau membangun kepribadian. Sebaik apapun suatu yang lahir tidak akan sempurna tanpa batin yang baik. Bagi raja-raja seperti Pandawa, sehebat apapun mereka tanpa kepribadian pasti akan melupakan kebenaran. Batin adalah sesuatu yang di dalam dan dibungkus oleh suatu yang lahir. Jiwa hanya bisa digerakan oleh raga, demikian pula sebaliknya. Batin dan lahir harus berjalan seirama untuk menjadi manusia seutuhnya. [] (inang.red.uns.ac.id)

Skip to content