Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pakar HTN UNS: Harus Sesuai Keinginan Rakyat

Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pakar HTN UNS: Harus Sesuai Keinginan Rakyat

UNS — Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Riwanto mengatakan bahwa wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 harus dilakukan sesuai keinginan rakyat.

Apalagi jika wacana ini akan direalisasikan dengan cara mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Alasannya, Pemilu merupakan masalah konstitusional dan bukan kepentingan elite politik belaka.

Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mengamandemen UUD 1945 untuk merubah pasal dan ayat demi penundaan Pemilu 2024 tanpa persetujuan rakyat, Dr. Agus mengkhawatirkan pergolakan politik dapat terjadi.

“Melakukan amandemen konstitusi itu tidak boleh memaksa tapi harus berdasarkan kepada kesepakatan rakyat. Karena apa? Karena konstitusi itu adalah masalah fundamental,” ujar Dr. Agus dalam Forum Fristin TVRI bertajuk “Pemilu 2024 Diundur?”, Rabu (2/3/2022) malam.

Perlu diketahui bahwa wacana penundaan Pemilu 2024 mulai mencuat ketika salah seorang menteri dan tiga Ketua Umum (Ketum) Partai Politik (Parpol) mengusulkan hal ini.

Mereka beralasan pandemi Covid-19 memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian bangsa dan para pelaku usaha. Sehingga, Pemilu sebaiknya ditunda sampai kondisi negara benar-benar pulih.

Padahal, tanggal penyelenggaraan Pemilu 2024 belum lama ini telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan penyelenggara Pemilu.

Ketiganya menyepakati penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/ kota, dan anggota DPD dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024.

Kesepakatan itu diambil dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat terkait Penetapan Jadwal Pemilu Serentak 2024 yang digelar di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (24/01/2022) lalu.

Skema Penundaan Pemilu 2024

Dr. Agus dalam kesempatan tersebut menyampaikan skema formal dan informal jika Pemilu 2024 ingin ditunda. Skema formal dapat ditempuh dengan mengamandemen UUD 1945. Sedangkan, skema informal bisa dilakukan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Judicial review di MK bisa menafsirkan makna konstitusi tertentu supaya dimaknai sebagai perkembangan zaman. Misalnya saja, orang bisa saja menggunakan batu uji ketentuan pasal 167 ayat 1 UU No.7/ 2017 untuk mengetahui boleh nggak sih itu dilaksanakan tidak lima tahun sekali,” kata Dr. Agus.

Meski terbuka kesempatan untuk memuluskan wacana penundaan Pemilu 2024, ia menyebut merealisasikan hal ini bukanlah perkara yang mudah apalagi jika menggunakan skema formal dengan mengamandemen UUD 1945.

Pasalnya, dengan menunda Pemilu 2024 maka harus ditentukan pula bagaimana nasib Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD yang masa jabatannya habis pada tahun tersebut.

Dr. Agus mengatakan, hal itu harus diperjelas dengan menentukan siapa lembaga yang berhak memperpanjang masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD.

Jika hak untuk memperpanjang jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD diberikan kepada MPR maka pasal dalam UUD 1945 yang mengatur soal lembaga tinggi negara ini juga harus diubah.

Sebab, Pasal 3 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang berlaku saat ini hanya memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945 dan melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Selain itu, perlu juga untuk mempertimbangkan makna tersirat “tiga periode” dari penundaan Pemilu 2024. Sebabnya, jika masa jabatan Presiden/ Wakil Presiden diperpanjang selama satu sampai dua tahun itu artinya sama dengan satu periode.

“Harus dijelaskan bagaimana keadaan negara yang pemimpinnya tidak ada. Presiden Wakil Presiden, DPR, dan DPD tidak lagi berkuasa, masa jabatan berakhir. Hukum harus mengatur bagaimana hukum tata negara mengatur kalau masa jabatannya berakhir,” terangnya. Humas UNS

Reporter: Y.C.A. Sanjaya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content