Webinar FEB UNS Bahas Implikasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Webinar FEB UNS Bahas Implikasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

UNS — Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar Webinar Implikasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada Sabtu (23/4/2022). Webinar yang dibuka untuk umum ini berlangsung melalui Zoom Cloud Meeting dengan diikuti lebih dari 100 peserta.

Divisi Pengembangan Kerjasama Ekonomi Akuntansi selaku inisiator webinar mengolaborasikan akademisi dan praktisi dalam pembahasan topik kali ini. Mereka menghadirkan Taufiq Arifin, S.E., M.Sc., Ph.D., Ak., selaku pembicara pertama. Ia juga merupakan Dosen Program Studi (Prodi) Akuntansi FEB UNS. Pembicara kedua ialah Michael Husni dari PT. Previousnine Consulting.

Kepala Divisi Pengembangan Kerjasama Ekonomi Akuntansi FEB UNS, Dr. Setyaningtyas Honggowati, M.M., Ak., dalam sambutannya menyoroti soal kewajiban membayar pajak. Bagi Dr. Setyaningtyas, mengenali dan memahami perpajakan perlu untuk dilakukan mengingat pajak akan selalu berdampingan dengan kehidupan masyarakat.

Dalam kesempatan ini juga, Dr. Setyaningtyas menawarkan berbagai pelatihan yang diadakan Divisi Pengembangan Kerjasama Ekonomi Akuntansi FEB UNS. Diantaranya adalah pelatihan brevet pajak secara daring. Pelatihan ini ditawarkan bagi pihak-pihak yang ingin memahami pajak lebih lanjut.

Sesi materi pertama oleh Taufiq Arifin, Ph.D., memaparkan brief backgorund terkait UU HPP. Ia menerangkan bahwa UU HPP hadir karena berbagai upaya peningkatan tax ratio belum mampu mengimbangi perubahan pola bisnis dan dinamika globalisasi yang sangat dinamis serta mengatasi praktik aggresive tax planning yang ada.

Terdapat tiga pertimbangan yang melandasi penyusunan UU HPP. Pertama, UU HPP menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial. Kedua, UU HPP diposisikan sebagai satu strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningktan tax ratio dengan beberapa langkah tertentu. Ketiga, UU HPP menjadi perwujudan dari penyesuaian kebijakan pada beberapa bidang di dalam satu UU secara komprehensif.

Taufiq Arifin, Ph.D., memaparkan bahwa tax ratio Indonesia telah menyentuh angka 9.8 dimana ini merupakan titik terendah dalam setengah abad terakhir. Tax ratio sendiri dikutip dari laman kemenkeu.go.id merupakan perbandingan atau presentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) dimana hal itu juga merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak.

Webinar FEB UNS Bahas Implikasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

“Kalau pertumbuhan ekonominya tinggi mestinya pajaknya juga naik. Kalau itu rasionya turun berarti ekonominya semakin baik, tapi pajaknya tidak bisa berjalan bersama dengan kenaikan perekonomian tadi,” ujar taufiq Arifin, Ph.D.

Menurutnya pula, ada banyak hal yang menjadi faktor penyebabnya tax ratio. Salah satu yang ia soroti adalah perilaku kepatuhan pajak. Salah satu istilah yang digunakan dalam literatur adalah tax compliance. Istilah ini dianggap sebagai istilah yang paling netral untuk menggambarkan kemauan pembayar pajak untuk membayar pajak mereka.

Pemaparan berlanjut oleh Michael Husni yang menerangkan gambaran UU HPP sebagai dasar perencaan bisnis. Michael menjabarkan materi tersebut dalam enam pokok bahasan, yaitu Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Voluntary Disclosure Program, Pajak Karbon, serta Cukai.

UU KUP telah berlaku sejak 29 Oktober 2021 yang mana salah satunya mengatur tentang integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Michael menjelaskan bahwa aturan ini bertujuan mempermudan wajib pajak orang pribadi melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional. Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tersebut tidak lantas menyebabkan setiap orang pribadi memiliki kewajiban membayar pajak.

Berdasarkan peraturan PP Nomor 23 tahun 2018, Michael menerangkan bahwa pembayar pajak dilakukan apabila penghasilan setahun di atas batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau peredaran bruto di atas 500 juta rupiah per tahun bagi pengusaha yang membayar PPh Final 0.5%.

Michael Husni turut membahas tarif PPN terbaru dalam pokok bahasan selanjutnya. Tarif PPN tersebut naik dari 10% menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April 2022 lalu. Dengan adanya perubahan tarif ini, para pengusaha diminta untuk menghitung ulang implikasi kepada cash flow perusahaan. Selain itu, implikasi lainnya dapat dilihat pada piutang, IT, dan masa transisi.

Webinar FEB UNS Bahas Implikasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Masih dalam pokok bahasan PPN, Michael memaparkan terkait persyaratan Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melampaui jumlah tertentu, melakukan kegiatan usaha tertentu, dan/atau melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu dapat memungut PPN dengan besaran tertentu. Akan tetapi, Michael juga menjelaskan bahwa Pajak Masukkan (PM) atas perolehan tersebut tidak dapat dikreditkan.

“Contohnya yang baru terbit belakangan ini. Pada bulan April ini ada terbit 14 peraturan Menteri Keuangan. Salah satu contohnya penyerahan kendaraan bermotor bekas,” tutur Michael. Humas UNS

Reporter: Rangga P.A.
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content