Wisuda Periode I UNS, Dirjen Vokasi: IPK Jaminan Sukses Itu Salah

UNS — Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Wikan Sakarinto, Ph.D, mengatakan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) bukanlah penentu kesuksesan di masa depan.

Pesan tersebut disampaikannya di hadapan wisudawan/wisudawati Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang mengikuti jalannya Wisuda Luring dan Daring Periode I, Sabtu (27/2/2021) siang, melalui Zoom Cloud Meeting.

“Kalau IPK itu adalah jaminan sukses maka itu salah. IPK tinggi ya itu memang harus tinggi. Kalau IPK-nya tidak mencukupi maka dia akan kesulitan untuk ditelepon untuk dunia kerja,” ujarnya.

Wikan Sakarinto, Ph.D mengatakan langkah terpenting yang harus diambil perguruan tinggi adalah membekali mahasiswanya dengan kompetensi yang mumpuni sebelum masuk ke dunia kerja.

Khusus untuk persiapan memasuki dunia kerja, Wikan Sakarinto, Ph.D meminta lulusan UNS tidak hanya mengandalkan ijazah kompetensi. Melainkan lulusan UNS harus mengutamakan komampuan kognitif, soft skill, dan karakter.

Competent atau kompetensi ya itu bukan sekadar mengandalkan ijazah kompetensi. Itu gabungan antara kognitif, soft skill, dan karakter. Tapi, setelah nanti diterima (red: di dunia kerja) maka yang akan berfungsi selamanya yaitu soft skill,” tambah Wikan Sakarinto, Ph.D.

Hal tersebut disinggung Wikan Sakarinto, Ph.D sebab para penerima kerja yang dalam hal ini adalah dunia kerja dan dunia industri banyak mengeluhkan kualitas lulusan perguruan tinggi yang dinilai kurang tahan terhadap tekanan saat bekerja.

“Ada data komplain dunia kerja kepada lulusan yang semuanya dikomplain itu adalah kurang dapat berkomunikasi, kurang dapat bekerja sama atau team work, kurang inisiatif, dan mudah bosan,” ungkapnya.

Untuk mengatasi komplain dari para penerima kerja, Wikan Sakarinto, Ph.D menyampaikan Kemendikbud RI berkomitmen untuk mewujudkan link and match yang baik antara perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri.

“Ada 8 poin yang kita dorong link and match. Kenapa? Karena kita ingin menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dunia kerja,” tutur Wikan Sakarinto, Ph.D.

Ia menjelaskan, dalam mewujudkan link and match yang baik antara perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri tidak hanya sebatas penandatanganan MoU saja.

Melainkan, perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri harus bersama-sama menyusun kurikulum, pengembangan soft skill pembelajaran berbasis proyek, dan dosen expert harus mengajar di kampus per Prodi selama 50-100 jam.

Selain itu, mahasiswa juga perlu menjalani magang minimal satu semester, memiliki sertifikasi kompetensi, dosen dan guru wajib di-training oleh dunia kerja dan dunia industri, dan riset terapan yang harus mampu menjawab kebutuhan pasar dan masyarakat.

“Riset itu harus di-drive dari belakang. Pengennya apa, market pengennya apa, masyarakat pengennya apa. Ada tantangan apa, baru kemudian diriset. Ini karakteristik riset terapan yang berkolaborasi dengan akademik. Kalau tiba-tiba riset kemudian jadi produk dan setelah itu bingung begitu mau diapain? Ke masyarakat tidak juga, ke industri juga tidak, dijual di market nggak bisa,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content