Akhiri Sengketa Medik melalui LPSM

Penyelesaian sengketa medik yang ada di Indonesia selama ini dilakukan melalui sistem yang terbuka. Penyelesaian bisa dilakukan melalui model peradilan pidana yang berdampak pada nama baik profesi dokter. Ada pula yang melalui model Peradilan Profesi Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Model ini dianggap tidak bisa memenuhi harapan pasien karena cenderung berpihak ke dokter.

Sengketa yang terjadi bisa antara dokter-pasien, dokter-rumah sakit, dan pasien-rumah sakit. Untuk mewujudkan penyelesaian sengketa medik yang dianggap win-win solution bagi kedua belah pihak, Widodo Tresno Novianto, Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) menilai perlu dibentuk Lembaga Penyelesaian Sengekta Medik (LPSM).

Penyelesaian sengketa ala LPSM dilakukan dengan mengundang para pihak yang bersengketa untuk menunjuk advisor atau mediator lalu bermusyawarah bersama. Dalam musyarawah itu pasien bisa mendapatkan kejelasan malpraktik termasuk penyebab kematian. Selain itu, privasi dokter juga terlindungi karena tidak terekspos keluar. “Jadi semacam persidangan mini tertutup,” kata Widodo, usai mempertahankan disertasinya berjudul Model Penyelesaian Sengketa Medik di Luar Pengadilan melalui LPSM dalam Pelayanan Kesehatan, Rabu (19/2), di gedung Rektorat UNS.

Penyelesaian sengketa melalui LPSM dinilai lebih murah, cepat, dan melindungi privasi pihak yang bersengketa. Widodo menyebutkan, penyelesaian satu perkara membutuhkan waktu 3-4 bulan.

Namun, LPSM pun masih memiliki kelemahan. Kelemahan LPSM, menurut Widodo, terletak pada trust atau kepercayaan masyarakat kepada advisor atau mediator. Seorang advisor atau mediator dituntut harus mengetahui duduk perkara pihak-pihak yang bersengketa dengan benar. Kepercayaan ini menjadi kunci dalam pembentukan LPSM. “Ini yang sulit. Masyarakat Indonesia sudah hilang trust dengan mediator atau advisor,” kata Doktor ke-101 UNS itu.[]

Skip to content