Bahas Revisi UU MK, Pusdemtanas UNS Undang Ketua APHMK dari Berbagai Daerah

UNS – Pusat Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengundang Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK) dari berbagai daerah sebagai pembicara dalam diskusi daring `Mau Dibawa Kemana Revisi UU Mahkamah Konstitusi`, Rabu (5/8/2020), melalui Zoom Cloud Meeting.

Mereka adalah Dr. Zahratul Idami selaku Ketua APHAMK Aceh, Muhammad Asyikin, S.H., M.H. selaku Ketua APHAMK Maluku Utara, Dr. I Gede Yusa selaku Ketua APHAMK Bali dan Dr. Muhtadi selaku Ketua APHAMK Lampung.

Sebagai pembicara pertama, Dr. Zahratul menyampaikan materinya tentang `Masalah Penting dalam Revisi UU MK dan Solusi`. Di hadapan peserta webinar, ia memperhatikan sejumlah hal dalam perubahan kedua yang mengakomodir beberapa Putusan MK yang menyebabkan beberapa substansi UU No. 8 Tahun 2011 dari perubahan pertama dari UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK.

“Pokok materi penting dalam RUU Perubahan Kedua UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, meliputi pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, persyaratan menjadi Hakim Konstitusi, dan pemberhentian Hakim Konstitusi dan batas usia pensiun hakim,” ujar Dr. Zahratul.

Ia juga mencatat sejumlah poin penting yang belum dimasukkan dalam revisi UU MK kali ini. Salah satunya, pengujian UU yang sedang dilakukan MA bukan wajib dihentikan melainkan ditunda apabila UU yang menjadi dasar pengujian sedang dalam proses pengujian sampai MK mengeluarkan putusan.

Selain itu, ia menyoroti hukum acara pada Pasal 32 tentang permohonan untuk memenuhi kelengkapan juga tidak dimasukkan dalam perubahan, termasuk penyampaian salinan permohonan.

Melengkapi penjelasan Dr. Zahratul, Ketua APHAMK Maluku Utara, Muhammad Asyikin, S.H., M.H., menyebut pangkal persoalan revisi UU MK justru terletak pada Pasal 24C UUD 1945. Baginya, tata cara seleksi Hakim Konstitusi cenderung merepotkan karena dalam prosesnya melibatkan tiga lembaga negara sebagai pengusul.

“Di dalam perubahan UU MK ini tidak ada niatan untuk menguatkan MK sebagai lembaga peradilan karena pengaturan tata cara seleksi hakim sangat ribet karena harus diusulkan oleh DPR, Presiden, dan MA. Seharusnya ada sebuah lembaga khusus yang mengatur seleksi Hakim MK. Karena begini secara otomatis ada politik balas jasa maka marwah MK itu tidak akan sebagaimana yang diharapkan oleh para pencari keadilan,” terang Muhammad Asyikin, S.H., M.H.

Dalam diskusi daring tersebut, ia juga menyoroti masa jabatan bagi Hakim Konstitusi. Ia mengatakan, idealnya Hakim Konstitusi menjabat selama 10 tahun dengan pertimbangan agar kondisi psikologis hakim dapat matang dan supaya Hakim Konstitusi yang terpilih mampu bersikap sebagai seorang negarawan yang baik.

Bahasan penentuan usia Hakim Konstitusi juga disinggung Dr. Muhtadi. Ia menyayangkan tidak diaturnya batas bawah usia Hakim Konstitusi dalam revisi kali ini.

Narasumber lain, Dr. I Gede Yusa, dalam materinya mengenai `Penambahan Usia dan Jumlah Hakim MK dalam Rangka Menegakkan Putusan Final dan Mengikat` mengatakan batas usia Hakim Konstitusi dapat mempengaruhi tingkat kedewasaan/ kematangan berpikir.

Namun, ia mendapati putusan MK yang bersifat final dan mengikat sering kali tidak dipatuhi oleh DPR, Presiden, dan lembaga negara lain.

Agar dalam prakteknya putusan MK dapat dijalankan dengan baik, ia memberikan tiga solusi dalam meningkatkaan kewibawaan MK, yaitu penambahan usia Hakim Konstitusi, penambahan jumlah hakim, dan kualitas putusan MK. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content