Ini Rekomendasi Penting untuk Ubah Pendidikan di Indonesia

UNS – Ada lebih 50 persen tenaga kerja Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan latar pendidikan. Itu membuktikan pendidikan di Indonesia masih belum menyesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Demikian yang disampaikan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Inovasi dan Daya Saing, Ir. Ananto Kusuma Seta, M.Sc Ph.D dalam Simposium Nasional Pendidikan bertema “Teknologi, Industri dan Pendidikan” yang berlangsung di UNS Inn, Solo, Sabtu (16/2/2019).

Simposium ini menghadirkan berbagai pakar pendidikan sebagai pembicara. Selain Ir. Ananto Kusuma Seta, M.Sc Ph.D (Staff Ahli Mendikbud), turut hadir Dr. Muhammad Dimyati (Menristekdikti), Prof. Ravik Karsidi (Rektor UNS), Prof. Dede Rosada (UIN Syarif Hidayatullah), dan Prof. Muchlas Samani (UNESA).

Pada Simposium yang diadakan oleh Majelis Nasional Korps Alumni HMI (MN KAHMI), Ananto mengatakan hampir separuh dari lulusan perguruan tinggi di Indonesia mengalami ketidakcocokan antara pekerjaan dengan latar pendidikan (mismatch). “Mismatch, baik horizontal maupun vertikal. Horizontal mismatch adalah tenaga kerja yang lulus dari fakultas tertentu, tapi bekerja di bidang lain yang dipelajari di fakultas lain. Sementara vertical mismatch over qualified adalah tenaga kerja yang sebenarnya lulusan sarjana tapi mengambil pekerjaan lulusan SMA. Pertanyaannya, mau dibawa kemana arah pendidikan kita?” ungkap Ananto saat menyampaikan materinya tentang Pendidikan 4.0.

Menurut Ananto, pendidikan Indonesia masih lamban dalam merespon perubahan teknologi dan industri. Sejak 2018, tingkat mismatch tenaga kerja Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Bahkan berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018, jumlah pengangguran di pendidikan tinggi juga meningkat dibandingkan 2017. Mengetahui hal tersebut, dia menyarankan untuk mengubah paradigma pendidikan Indonesia secara komprehensif.

“Harus ada perubahan paradigma. Bahwa lulusan yang dihasilkan belum kompatibel untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Sebanyak 73 persen lulusan kita tidak bisa bekerja di Indonesia dan harus outsource dari negara tetangga. Kita harus bekerja keras untuk memenuhi itu,” jelasnya.

Menurutnya, untuk mengurangi tingkat mismatch yang tinggi ada beberapa poin yang penting dilakukan dari sektor pendidikan. Salah satunya yaitu memposisikan kembali tujuan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia bukan untuk merobotkan manusia. Sehingga, lulusan yang dihasilkan lembaga pendidikan tidak hanya mampu bersaing melawan robot tapi juga diyakini bisa bertahan di dunia kerja masa depan.

Rektor UNS Solo Prof. Dr. ravik Karsidi M.S menambahkan, Indonesia juga perlu merevitalisasi pendidikan kebangsaan, mengingat semangat nasionalisme yang semakin merosot. Beberapa indikasi awal yang telah muncul seperti hoaks, ujaran kebencian, radikalisasi dan ancaman disintegrasi. Krisis kebangsaan tersebut disebabkan karena tidak adanya model pendidikan kebangsaan yang jelas pasca orde baru berakhir. Untuk itu, di era milenial seperti sekarang ini, Ravik menyarankan diperlukan membuat model pendidikan kebangsaan baru, dari tingkat PAUD, Sekolah Dasar, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi.

Usai pemaparan materi dari narasumber, acara dilanjutkan dengan simposium. Simposium ini diikuti oleh 35 pemakalah yang merupakan Doktor dan Guru Besar alumni HMI bidang ilmu Pendidikan dan Pendidikan islam se-Indonesia. Simposium tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan dan program pengembangan pendidikan di Indonesia.

Di antaranya, perlunya menyeimbangkan muatan pendidikan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Secara umum selama ini, pendidikan dasar masih cenderung didominasi pendekatan kognitif (pengetahuan), sehingga siswa masih terjauh daripada sikap (afektif) dan implementatif (psikomotorik). Ini yang membuat kurikulum di tingkat dasar menjadi terlalu berat namun dengan pemahaman dan implementasi yang minimal.

Kemudian, memposisikan ulang sekolah atau pendidikan vokasi sebagai solusi untuk mendorong Revolusi Industri 4.0 dan 5.0. Lulusan sekolah vokasi harus siap disalurkan di dunia usaha dan industri. Sebab selama ini, sekolah vokasi masih dianggap sebagai batu loncatan untuk menempuh pendidikan selanjutnya.

Diusulkan pula, adanya sinergi antara pemerintah, universitas dan industri. Tujuannya agar pemerintah bisa membuat regulasi yang mendukung lahirnya berbagai inovasi dan lulusan pendidikan tinggi juga dapat memenuhi kebutuhan industri. Humas UNS/Mia

Skip to content