Peringati Sumpah Pemuda, FMS UNS Bahas Sumbangsih Pemuda bagi Persatuan Indonesia

UNS — Forum Mahasiswa Sejarah (FMS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar Semarak Sejarah Kebudayaan Sebelas Maret Surakarta (Sansekerta) bertajuk “Menilik Peran Pemuda dalam Persatuan Indonesia” melalui Zoom Cloud Meeting, Rabu (28/10/2020) siang.

Webinar ini digelar sebagai puncak dari rangkaian acara Sansekerta 2020 yang sekaligus untuk memperingati hari Sumpah Pemuda ke-92.

Dalam webinar ini, FMS UNS mengundang tiga sejarawan sebagai pembicara untuk mengulas jejak pemuda bagi persatuan Indonesia. Mereka adalah Bonnie Triyana (Pemimpin Redaksi Historia), Prof. Anhar Gonggong (Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia), dan Eko Sulistyo (Deputi Kantor Staf Presiden tahun 2015-2019).

Sebagai pembicara pertama, Bonnie Triyana menyampaikan materinya tentang “Ikrar Pemuda 1928: Makna dan Proyeksi Masa Depan”. Di hadapan peserta webinar, ia mengatakan proses pemuda Indonesia untuk membangkitkan kesadaran pergerakan atas dasar satu bangsa, dimulai dari organisasi/ kelompok kedaerahan.

“Muncullah kesadaran berorganisasi karena mereka merasa tidak bisa lagi dibagi atas ras. Jong Java misalnya merupakan identitas kedaerahan sebagai dampak dari Hindia Belanda yang disatukan tetapi mereka tidak merasa sebagai Hindia Belanda. Dan, kesadaran bahwa saya orang Indonesia/ Sumatera sebelum keindonesiaan sudah ada,” ujar Bonnie Triyana.

Kesadaran untuk bersatu melawan kolonialisme, disebut Bonnie Triyana direspon oleh pemuda dengan membentuk organisasi politik, gerakan protes/ kritik, penyebarluasan gagasan kemerdekaan, dan penguatan kesadaran identitas kebangsaan.

Melalui hal tersebut, ia mengatakan makna Sumpah Pemuda yang tiap tahun diperingati bangsa Indonesia menyiratkan munculnya kesadaran kebangsaan Indonesia sebagai respon atas kolonialisme Belanda yang memecah belah dan menindas rakyat jajahan.

Lewat hal itulah lahir kesadaran berbahasa satu (mindscape), bertanah air satu (landscape), dan melahirkan perasaan sebagai satu bangsa, yaitu Indonesia.

Sependapat dengan Bonnie Triyana, Prof. Anhar Gonggong mengatakan inisiatif pemuda untuk membentuk organisasi merupakan hasil dari orang-orang terdidik yang tercerdaskan, yang semula perjuangannya bersifat kedaerahan dan fisik menjadi perjuangan melalui pendidikan dan organisasi.

“Kenapa mereka tampil? Ada aktor-aktor yang dipahami dalam pergerakan nasional, lahirnya oleh karena faktor dimana ada anak-anak muda terdidik yang tercerahkan. Tidak semua orang terdidik itu tercerahkan,” ujar Prof. Anhar Gonggong.

Lewat pemuda yang terdidik inilah yang selanjutnya mampu mengkoordinir penyelenggaraan Kongres Sumpah Pemuda I dan II. Walau pada Kongres Sumpah Pemuda I, para pemuda belum sepenuhnya bersepakat. Namun, pada Kongres Sumpah Pemuda II, para pemuda yang berdialog akhirnya berhasil bersepakat dan menyepakati 3 ikrar. Salah satunya adalah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

“Indonesia adalah murni hasil dari kecerdasan dan kejernihan pikiran dari anak-anak muda abad 20. Wujud dari sebuah generasi yang lahir dan berkembang pada abad 20 yang jenuh dengan penjajahan dan penderitaan yang kemudian melahirkan kreativitas dan dibentuk oleh orang-orang terdidik yang tercerahkan dan yang kreatif. Itulah mengapa Indonesia ada,” lanjut Prof. Anhar Gonggong.

Sebagai pembicara terakhir, Eko Sulistyo mengaitkan Sumpah Pemuda dengan andil pemuda dijaman sekarang. Ia mempertanyakan peran pemuda Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Baginya, selama pandemi Covid-19 berlangsung, pemuda khususnya mahasiswa Program Studi (Prodi) Sejarah, harus memberikan kontribusi bagi dunia sejarah.

Contohnya dengan berusaha mengumpulkan bukti-bukti sejarah berkaitan dengan pandemi Covid-19 agar dapat tercatat dalam sejarah.

Ia mencontohkan keputusan salah satu museum di Inggris yang tidak menggelar virtual tour untuk menggaet pengunjung, tetapi meminta para kuratornya untuk mengumpulkan bukti dan merekam kejadian selama pandemi Covid-19 agar dapat dijadikan bukti konkret terhadap sebuah krisis kesehatan besar yang melanda kehidupan manusia di abad 21.

“Persoalan tantangan mungkin sikap reflektif saya melihat apakah kemudian berdiamnya kaum muda karena mereka sudah menjadi korban daripada pandemi. Bukan dalam artian fisik tetapi karena ketakutan atau menjadi generasi rebahan yang melakukan googling di tempat tidur,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content