Ragam Batik dalam Kekayaan Budaya Jawa

UNS-Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengadakan webinar budaya. Kegiatan tersebut berlangsung secara daring melalui aplikasi Google Meet pada Senin (5/10/2020). Webinar dengan tema Ragam Batik dalam Kekayaan Budaya Jawa tersebut menghadirkan 2 narasumber. Kedua narasumber tersebut yaitu KRRAr Budayaningrat dari Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta Hadiningrat dan Dr. Prasetyo Adi Wisnu Wibowo yang merupakan Kepala Prodi S-2 Kajian Budaya UNS.

Dalam materinya, KRRAr Budayaningrat menyampaikan bahwa banyak masyarakat memakai batik tanpa aturan sehingga Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwana membuat aturan tentang pemakaian kain batik.

Ana dene kang arupa Jejarit kang kalebu laranganingsun, Bathik Sawat, lan Bathik Parang, Bathik Cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng, lan tumpal, apadene bathik Cemukiran kang calacap lung-lungan, kang sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan Sentananingsun dene kawulaningsun padha wedia,” ungkapnya dalam bahasa Jawa.

KRRAr Budayaningrat menerangkan bahwa di dalam buku Pratingkahing Adamel Sijang’ diterangkan bahwa terdapat 2 cara dalam membuat batik.
“Cara pertama yaitu pada batik tulis, kain mori yang sudah dibuat pola kemudian digambar memakai pensil. Setelah itu, pola tadi ditindas dengan malam menggunakan alat canting. Sementara itu, cara berikutnya yakni berupa cara cap atau stamp menggunakan cap yang dibuat dari tembaga yang sudah berbentuk pola batik,” paparnya.

Terdapat berbagai jenis fungsi batik, baik untuk upacara kelahiran, pernikahan, maupun kematian.
“Batik motif Satriya Manah digunakan untuk upacara pinangan yang dikenakan oleh calon mempelai pria dan batik semen rante dikenakan calon mempelai wanita. Lalu kain Bangun Tulak untuk upacara siraman dan batik untuk upacara tuju bulanan antara lain sido mulya, sida drajat, sido luhur, sido mukti, sekar jagad, wahyu tumurun, babon angrem, dan sebagainya,” imbuhnya.

Kemudian, pemateri kedua yaitu Dr. Prasetyo Adi Wisnu Wibowo mengemukakan bahwa orang Jawa dalam berpakaian selalu mengandung makna filosofis.

“Beskap didesain krowok memperlihatkan tatanan sabuk patola sutra yang tidak murah harganya. Epek terbaik dari bordir logam gim emas dan tidak lupa epek timang tinaretes barleyan ikut dipertontonkan. Maka seharusnya malu jika seseorang mengenakan ageman Jawa tapi tidak bisa njumbuhke dengan status sosialnya dan tidak bisa memahami makna filosofinya,” terang Prasetyo.

Ia menambahkan bahwa pada dasarnya, pemakaian batik tidak boleh sembarangan baik untuk laki-laki maupun perempuan karena setiap elemen dalam kawruh busana Jawa terutama batik selalu sarat akan makna.
“Pada masa lalu kain motif batik hanya dipakai oleh kalangan tertentu, misalnya raja dan keluarganya, serta orang-orang kaya. Sampai saat ini pun, masih ada kain batik dengan jenis tertentu yang dilarang untuk dipakai oleh kalangan kebanyakan karena merupakan pakaian kebesaran raja, sebab diyakini akan menimbulkan kualat,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Bayu Aji Prasetya
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content