Orasi Sektor Pangan Pro Rakyat, Yunastiti Jadi Guru Besar UNS

Yunastiti saat sampaikan orasinya yang berjudul “Pangan untuk Rakyat: Suatu Ikhtiar Survivalitas Pangan dalam Era Globalisasi” di auditorium, Kamis (25/2/2016).
Yunastiti saat sampaikan orasinya yang berjudul “Pangan untuk Rakyat: Suatu Ikhtiar Survivalitas Pangan dalam Era Globalisasi” di auditorium, Kamis (25/2/2016).

Jumlah Guru Besar di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bertambah lagi. Pasalnya, salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) di bidang ilmu ekonomi pembangunan, Yunastiti Purwaningsih berhasil meraih jabatan profesor usai menyampaikan orasi ilmiahnya yang berjudul “Pangan untuk Rakyat: Suatu Ikhtiar Survivalitas Pangan dalam Era Globalisasi” di Auditorium UNS, Kamis (25/2/2016). Profesor Dr. Yunastiti Purwaningsih, M.P. menjadi Guru Besar ke-176 untuk UNS dan ke-11 untuk FEB.

Dalam orasi yang disampaikan, ia mengatakan bahwa seorang ahli bernama Malthus yang mengungkapkan bahwa pangan berkembang menurut deret hitung dan penduduk berdasarkan deret ukur. Sehingga ada sifat pesimis bahwa penyediaan pangan akan kurang. Walaupun apa yang dikatakan Malthus terbantahkan oleh adanya teknologi pangan yang sudah ada, tapi tetap saja dengan tidak imbangnya proses distribusi pangan yang merata akan terjadi kekurangan pangan.

Yunastiti didampingi suami, Sutomo usai jumpa pers jelang pengukuhan jabatan guru besarnya, Selasa (23/2/2016).
Yunastiti didampingi suami, Sutomo usai jumpa pers jelang pengukuhan jabatan guru besarnya, Selasa (23/2/2016).

Dalam konteks Indonesia, negara ini mengalami ketahanan dan ketersediaan pangan yang belum maksimal sehingga memilih melakukan impor beberapa bahan pangan untuk melengkapi kebutuhan pangan nasional. Hal ini merupakan sebuah ironi mengingat Indonesia adalah negara agraris.

Ide yang dilemparkan oleh Yunastiti adalah bahwa pemerintah dianjurkan untuk melakukan pendekatan produksi pangan sendiri (food self sufficiency). Negara dituntut untuk mampu memenuhi seluruh kebutuhan pangan masyarakatnya, sehingga tidak perlu mendatangkan impor. “Sepintas pandanganin terkesan nasionalis, anti perdagangan bebas (anti free trade). Tetapi esensi dari pendekatan ini dapat dipandang sebagai cara efektif terhadap usaha pencapaian ketahanan pangan masyarakat,” tuturnya.

DSC_2130

Keunggulan pendekatan tersebut dapat dipastikan lebih besar dibanding kelemahan dan pilihan menggunakan pendekatan food free trade, di antaranya adalah: terbukanya kesempatan kerja dalam jumlah besar di sektor pertanian bahan pangan di berbagai wilayah pulau maupun provinsi di Indonesia, serta terbukanya peluang migrasi tenaga kerja anti pulau dan wilayah sebagai alternatif penyebaran jumlah penduduk yang terpusat di Jawa; tersedianya pangan untuk rakyat yang lebih terjamin dan berkesinambungan; peningkatan produktivitas pangan rakyat dengan berbagai inovasi dan divesifikasi produk yang akan memberikan banyak alternatif pilihan konsumsi pangan yang tidak tergantung pada salah satu jenis bahan pangan.

Dirinya juga menyadari kelemahan pendekatan yang dianjurkannya, misalnya ada kemungkinan gagal panen ataupun kurang tersedianya modal fisik dan manusia serta teknologi. Akan tetapi pendekatan ini masih jauh lebih baik daripada memilih pendekatan impor.[] (dodo.red.uns.ac.id)

 

Skip to content