Pertunjukan Budaya Indonesia Bersatu Padu dalam FAM UNS

UNS – Indonesia adalah negeri yang kaya, kaya alamya dan juga budayanya. Warisan leluhur begitu beragam, begitu beraneka dari Sabang sampai Merauke. Namun tetap, berbeda adalah satu, beragam adalah kita. Generasi selanjutnya, bagaimana cara kita menjaga dan memelihara kekayaan yang telah ada?

Festival Apresiasi Mahasiswa (FAM) 2018 merupakan salah satu wadah bagi mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta untuk dapat mengenalkan budaya dan mengingatkan kembali bahwa di pundak generasi muda ada tanggung jawab melestarikan budaya bangsa. FAM adalah acara tahunan yang dikoordinatori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS dan melibatkan para mahasiswa UNS untuk ikut berpartisipasi di dalamnya.

Latar belakang daerah dan budaya mahasiswa, tentunya mampu memberikan suguhan penampilan yang menarik dari berbagai budaya di Indonesia. Berbagai kostum daerah, bahasa daerah, tarian daerah, dapat disaksikan ribuan mata di satu panggung melalui kegiatan FAM ini. Mahasiswa UNS yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia memberikan sajian memukau secara berkelompok bersama dengan komunitas daerah (komda) masing-masing.

For all, bagus. FAM 2018 merupakan kreatifitas yang perlu dibanggakan. Apalagi, komunitas daerah bisa tampil di malam hari ini, dan itu kami apresiasi tinggi buat panitia dan seluruh punggawa yang melaksanakan kegiatan ini. Bravo, FAM 2018!” ujar Rohman Agus Pratomo, Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni UNS.

Acara FAM tahun ini diselenggarakan pada Sabtu (24/11/2018) bertempat di Auditorium UNS. FAM memiliki slogan “Kemilau Khatulistiwa” dan bersimbolkan gambar perahu. Di tahun ini, FAM mengangkat tema “Mahakarya untuk Indonesia”. Slogan dan tema tersebut sesuai dengan konsep penampilan budaya masing-masing komda yang disajikan atau dipandu melalui jalur pelayaran dari daerah yang satu ke daerah yang lain di Indonesia.

Beberapa pertunjukan seni daerah yang menghiasi panggung FAM ini, di antaranya adalah Tari Tor-Tor, Musik Perkusi Rampak si Jobang, Tari Sedayung Makyong, Tari dan Lagu Ya Saman, Tari Kreasi Bedana, Tari Lenggang Bedana, Lenong, Tari Jaipong, Drama Tradisi Rambut Gimbal, Drama Tari Sunan Giri, Sendratari Ramayana, Tari Ndolalak, dan Tari Kretek. Meskipun beragam, penampilan yang dirangkai selama lebih kurang tiga jam ini belum memuat seluruh tradisi lisan, tarian, atau pertunjukan seni yang ada di Indonesia. Betapa kayanya negeri kita sehingga butuh waktu berhari-hari untuk dapat menampilkan warisan leluhur di negeri ini.

“Tor-Tor yang kami bawakan itu menceritakan tentang kisah cinta muda-mudi Batak. Karena orang Batak itu dalam kisah cintanya itu memang menjadi orang yang setia, cuma dia sangat susah untuk menemukan jodoh yang pas untuknya karena banyak pertimbangan. Pertimbangan yang paling utama itu adalah mereka harus menemukan pasangan yang harus sayang kepada kedua orang tuanya,” jelas Frido Simbolo, mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah UNS asal Kota Medan.

Penampilan Tari Tor-Tor oleh mahasiswa UNS komunitas daerah Sumatera Utara.

Azmi Rahma Fadhila, mahasiswa asal Wonosobo memaparkan tentang penampilan Drama Tradisi Rambut Gimbal yang terjadi di Dieng, Wonosobo. Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS ini menerangkan bahwa tradisi rambut gimbal adalah proses pemotongan rambut gimbal anak kecil di daerah Dieng. Pada umumnya, tradisi ini terdiri dari 1) jamasan, yaitu membasuh rambut gimbal yang akan dipotong menggunakan air dari tujuh mata air di Dieng, 2) rambut yang gimbal dipotong seluruhnya, 3) rambut gimbal yang telah dipotong dibungkus menggunakan kain putih atau kain mori, dan 4) rambut yang telah dibungkus tersebut dihanyutkan bersama dengan sesajen-sesajen, seperti buah-buahan atau hasil alam lainnya, di Telaga Warna. Anak kecil yang rambut gimbalnya akan dipotong berhak meminta sesuatu kepada orang tuanya dan harus dikabulkan, jika tidak, maka rambut gimbal anak tersebut tidak akan hilang atau tumbuh kembali. Biasanya pemotongan rambut gimbal dilaksanakan di Candi Arjuna. Sekarang ini, tradisi pemotongan rambut gimbal menjadi acara tahunan Dieng, yaitu Dieng Culture Festival atau disebut juga Festival Seribu Lampion.

Selain penampilan dari berbagai daerah, penutupan pertunjukan komda UNS ini menyuguhkan tarian kolaborasi, yaitu tarian yang menggabungkan tarian-tarian dari berbagai daerah di Indonesia. Tari kolaborasi ini diikuti oleh delapan belas penari yang mewakili  komda masing-masing dan berdurasi lebih kurang sepuluh menit.

“Yang saya apresiasi adalah mereka dari berbagai daerah tapi mau belajar tarian daerah lain. Kami memilih tari kolaborasi daerah karena dengan waktu yang singkat ini, bisanya mungkin tari. Kalau kendalanya, pasti ada, suatu latihan pasti ada kendala. Terutamamemang di sini tidak semuanya basic-nya adalah penari,” ujar Avis Diaz Sandy, alumni Fakultas Ilmu Budaya, selaku koreografer.

“Ini ngadain event-event begini keren. Dari judulnya aja udah keren, apresiasi mahasiswa, karena semua orang butuh diapresiasi. Aku, jujur, sangat mengapresiasi kalian karena ini adalah event yang keren. Pokoknya, buat anak muda, jangan pernah berhenti menginspirasi yang lain, menyebarkan hal baik, melangkah terus, dan jangan pernah takut walaupun kalian berjalan sendirian di jalanmu. Karena yang sepi belum tentu salah, dan yang ramai belum tentu benar,” pesan Nufi Wardhana sebagai bintang tamu utama FAM UNS 2018. humas.red-uns/Zul/Isn

Skip to content