Covid-19 Varian Mu Ancam Indonesia, Dosen FK UNS Ingatkan Hal ini

Covid-19 Varian Mu Ancam Indonesia, Dosen FK UNS Ingatkan Hal ini

UNS — Pemerintah Indonesia saat ini tengah mewaspadai masuknya Covid-19 varian Mu dari luar negeri. Kewaspadaan itu muncul usai Covid-19 varian Mu merebak di 49 negara di dunia.

Sejak pertama kali ditemukan di Kolombia, Covid-19 varian Mu yang memiliki nama lain B 1.621, sudah menjadi perhatian Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tercatat, hingga Selasa (21/9/2021), Covid-19 varian Mu telah ditemukan di Finlandia, Korea Selatan, Ekuador, hingga Jepang.

Melihat adanya peluang penularan Covid-19 varian Mu di tanah air, dua dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, yaitu dr. Tonang Dwi Ardyanto dan dr. Hendrastutik Apriningsih menyampaikan sejumlah hal kepada masyarakat untuk bersiap menghadapi mutasi baru Covid-19 ini.

Pertama, masyarakat diminta untuk tetap mematuhi Protokol Kesehatan (Prokes). Hal ini disampaikan oleh dr. Tonang Dwi Ardyanto yang menyebut ada atau tidak adanya varian baru Covid-19, masyarakat harus tetap menjalankan Prokes.

Selain itu, dr. Tonang Dwi Ardyanto yang juga Juru Bicara (Jubir) Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 RS UNS ini mengatakan, masyarakat harus tetap mendapatkan vaksinasi Covid-19, walau tingkat efektivitas vaksin terhadap varian baru Covid-19 akan menurun.

“Menurut kita fokusnya adalah tidak mencari yang Mu yang mana. Jadi, tenang saja tetap jaga Prokes. Tentu vaksin tetap kita jalankan. Ada tidak ada vaksin harus Prokes dan ada Prokes pun ya harus vaksin juga. Jadi, dua-duanya kita jalankan dengan baik,” ujar dr. Tonang Dwi Ardyanto dalam Dialog Program Khusus Kentongan RRI Surakarta, Selasa (21/9/2021).

dr. Tonang Dwi Ardyanto menerangkan, ketika muncul varian baru dari hasil mutasi Covid-19, secara logis tingkat efektivitas vaksin akan menurun. Sebabnya, vaksin Covid-19 yang tersedia, sudah diproduksi sebelum varian baru Covid-19 muncul.

Namun, ia meminta masyarakat untuk tidak meremehkan manfaat dari vaksin Covid-19. Karena, tingkat ‘kesakitan’ dan kematian yang dapat disebabkan oleh varian baru Covid-19 tidak akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang-orang yang belum tervaksinasi Covid-19.

“Contoh di Inggris walau ada varian Delta, tetap angka kematian lebih tinggi pada yang belum divaksinasi. Sekarang yang rame Singapura, karena mereka baru terkena varian Delta dan ketahuan bedanya, ketahuan mana yang belum dan sudah divaksin,” terang dr. Tonang Dwi Ardyanto.

Dalam acara yang sama, dosen FK UNS lainnya, dr. Hendrastutik Apriningsih menambahkan, mutasi merupakan suatu kebutuhan dari virus untuk tetap dapat hidup.

Pada kasus menularnya Covid-19, dr. Hendrastutik Apriningsih menjelaskan penyakit ini memiliki gejala-gejala yang umum. Dalam artian, orang yang sudah terjangkit Covid-19 akan merasakan batuk, sesak napas, pilek, hingga kelelahan.

Namun, khusus untuk Covid-19 varian Mu, ia mengingatkan jika mutasi baru ini akan memunculkan gejala-gejala yang lebih spesifik. Seperti, batuk yang lebih dominan, demam tinggi, dan anosmia.

”Untuk gejala Mu ini hampir sama. Namun, ada tiga yang lebih sering dialami apabila mengalami infeksi Mu ini. Dan, untuk penanganan medis sebenarnya tidak terlalu berbeda dan untuk pencegahan agar tidak terinfeksi juga sama dan yang penting itu Prokes dan menjaga kebersihan,” jelas dr. Hendrastutik Apriningsih.

Untuk mengantisipasi masuknya Covid-19 varian Mu ke Indonesia, dr. Hendrastutik Apriningsih meminta pemerintah untuk memperketat akses keluar-masuk Indonesia.

Baik warga negara asing atau warga negara Indonesia yang masuk ke tanah air, pemerintah diminta dr. Hendrastutik Apriningsih untuk memperlama masa karantina. Tujuannya, agar Covid-19 varian Mu dapat terdeteksi.

Ia tidak ingin kasus penularan Covid-19 melonjak seperti yang terjadi pada Juni-Juli lalu ketika varian Delta merebak di Indonesia.

“Harapannya, agar memperketat dari luar (red: negeri). Misalnya, dari luar masuk ke Indonesia harus dilakukan karantina dalam waktu yang lebih logis dan lama daripada Delta masuk, karena karantina tidak terlalu lama,” ucap dr. Hendrastutik Apriningsih.

Tingkat Imunitas Tubuh Terhadap Virus

Dalam Dialog Program Khusus Kentongan RRI Surakarta, dr. Tonang Dwi Ardyanto turut menjawab pertanyaan dari pendengar soal imunitas tubuh manusia.

Ia mengatakan, tubuh manusia memiliki dua sistem imun. Pertama, adalah sistem imun bawaan yang didapat sejak lahir dan sistem imun yang didapat dari rangsangan suatu antigen.

Dua sistem imun itu, dinilai dr. Tonang Dwi Ardyanto sama-sama penting. Sebab, dengan adanya dua sistem imun tersebut membuat tubuh menjadi semakin mudah mengenali virus yang masuk.

Oleh sebab itu, ia menilai tidak tepat jika ada orang yang menolak divaksinasi Covid-19 karena merasa sudah memiliki antiobodi.

“Orang selalu salah kaprah, kenapa divaksin wong sudah punya antibodi, kok? Ibaratnya, imunitas bawaan seperti tentara garis depan. Dari lahir perlu dilatih tapi untuk antibodi sifatnya baru ada ketika ketemu benda asing, entah virus atau bakteri. Nanti, ketika virus X masuk, antibodi kita mengenal, langsung hancurkan,” katanya.

Lebih lanjut, berkenaan dengan beragamnya varian baru Covid-19, ia mengungkapkan semakin banyak mutasi yang dilakukan suatu virus, maka tingkat keganasannya semakin berkurang.

Namun, ia meminta masyarakat untuk tidak lengah. Sebab, walau tingkat keganasan varian baru Covid-19 dinilai akan berkurang, namun potensi penularannya tetap ada.

dr. Tonang Dwi Ardyanto tidak ingin kasus membludaknya antrean RS pada bulan Juni-Juli lalu karena Covid-19 varian Delta menyebar terjadi lagi.

“Dalam konsep teoritis alamaiah ketika virus semakin cepat menular maka biasanya akan disertai dengan penurunan tingkat keganasan. Terbukti sebenarnya Delta kecepatan menularnya tinggi, beberapa negara angka kematian karena Delta sebenarnya lebih rendah. Persoalannya nanti kalau yang tertular banyak, RS tidak mampu menampung,” pungkasnya. Humas UNS

Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content