Angkat Profesi Jaksa, Film Tari Garapan Dosen DKV UNS Masuk America Dance Film’s Movies by Movers 2020

UNS“Being a Prosecutor” , sebuah dance film atau film tari yang bercerita tentang keambiguan profesi jaksa berhasil terpilih dalam official selection America Dance Film’s (ADF’s) Movies by Movers 2020 di Durham, Amerika Serikat. ADF’s Movies by Movers merupakan festival dua tahunan yang didedikasikan untuk perayaan percakapan antara tubuh dan kamera dengan mengolaborasikan seni performance dan sinematografi.

Film tari garapan Dr. Deny Tri Ardianto, S.Sn., Dipl. Art., Dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini diadaptasi dari salah satu pupuh (puisi tradisional Jawa) fenomenal dalam Serat Jayengbaya karya Raden Ranggawarsita berjudul Dadi Jeksa. Kepada uns.ac.id, Dr. Deny bercerita bahwa sebagaimana isi pupuh, di dalam film tersebut terekam dua sifat berlawanan dalam diri seorang jaksa (jeksa) yang menimbulkan keambiguan.

“Jadi terdapat paradoks kemuliaan dan keluhuran profesi jaksa sebagai pilar penjaga benteng keadilan. Tetapi sekaligus kenistaan, kemunafikan, kelicikan, dan kerakusan seorang jaksa yang memperjualbelikan hukum dan keadilan dalam bentuk suap, sogok, upeti yang mengukir dendam mendalam bagi masyarakatnya,” jelas Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) UNS ini, Minggu (17/5/2020).

Lebih lanjut, Dr. Deny menggambarkan bagaimana “Being a Prosecutor” menggunakan berbagai unsur semiotika atau simbol untuk mengungkapkan sebuah makna. Seperti kebencian masyarakat yang mengakar terekspresikan dalam ungkapan sumpah serapah dan jika ada pohon yang tidak kunjung tumbuh buahnya, pohon tersebut akan ditanami kepala Jeksa. Begitu juga dengan penggambaran terkutuknya jenazah Sang Jeksa, jika ia meninggal makamnya harus dijauhkan dari masyarakat pada umumnya.

Saat ditanya perihal latar belakang pembuatan film, Dr. Deny menuturkan bahwa ia ingin menciptakan film yang berbasis budaya tradisional, khususnya budaya Jawa sebagai sumber ide penciptaan karya seni. Hal tersebut merupakan bagian dari upayanya untuk turut melestarikan dan mengembangkan seni budaya tradisional agar lebih dikenal oleh generasi milenial saat ini.

Berkaitan dengan jenis film tari yang ia pilih, menurutnya penggabungan cerita tradisional yang dinarasikan dalam bahasa tutur tari kontemporer dan dikemas dalam media film telah menciptakan sebuah media baru. Melalui film tari, ia ingin menyuguhkan sajian yang tidak dapat ditemukan di film jenis lain pada umumnya.

“Melalui film tari tersebut, saya mengajak audiens berkomunikasi dan berdiskusi untuk menjelajahi ruang-ruang alternatif dalam penciptaan karya seni yang tidak hadir dalam film-film naratif atau jenis lain,” imbuh alumnus UNS ini.

Misi Dr. Deny dan tim untuk membawa budaya Jawa dengan suguhan dance film memperoleh banyak sambutan hangat dan panggung untuk tampil. Pasalnya, sejak pertama kali dipamerkan pada Agustus 2019 di PostFest 2019 – An International Art Exhibition, “Being a Prosecutor” telah dipamerkan dan diundang dalam berbagai gelaran seni dan film bergengsi, baik di Indonesia maupun kancah internasional. Setelah tampil di PostFest 2019, film ini terpilih untuk dipamerkan dalam International Visual Art Exhibiton 2019 di Poh Chang Academy of Art, Bangkok, Thailand, dan juga diundang dalam Jakarta Dance Carnival 2019 pada Oktober 2019.

Di tahun 2020 ini, tidak hanya ADF’s Movies by Movers saja yang berhasil dijajaki “Being a Prosecutor”. Sebelumnya, film tari yang diproduksi pada Juli—Agustus 2019 ini, juga terpilih dalam official selection Frame Rush – A place for Screendance Film Festival di London-UK dan (C)Screen-Spring Dancefilm Festival di Barcelona-Spanyol,

“Di bulan September 2020 nanti, jika tidak ada aral melintang juga akan di putar di sebuah festival film tari di Hongkong,” tutur Dr. Deny.

Berawal dari P2M UNS skema Penelitian Penciptaan dan Penyajian Seni 2019, film ini diproduksi oleh Dr. Deny bersama para dosen FSRD UNS. Antara lain Dr. Bedjo Riyanto, M.Hum dan (alm) Drs. Putut. H. Pramana, M.Si sebagai peneliti. Selain itu, ia juga melibatkan tim film dari TheRockies Film yang selama 8 tahun telah bekerja bersama dalam proyek berbagai film tari dan komersial Dr. Deny. Sementara untuk koreografer, ia dan tim dibantu seorang koreografer yang sedang naik daun, Otniel Tasman beserta timnya.

Perjalanan dan proses panjang tersebut tentu memberikan arti dan kebanggaan tersendiri bagi Dr. Deny. Setelah beberapa tahun berproses dalam film tari, ia memiliki jaringan-jaringan festival di seluruh dunia.

“Festival-festival tersebut merupakan festival tingkat dunia yang submission-nya bisa mencapai ribuan film. Ini tentu membawa tantangan tersendiri bagi kami. Sehingga, terpilih dalam seleksi dan ditampilkan di festival kelas dunia merupakan sebuah kebanggaan,” katanya.

Di sisi lain, proses panjang dan kebanggan itulah yang kiranya mendorong Dr. Deny untuk terus berkarya. Seperti saat ini, Dr. Deny juga tengah disibukkan dengan pengerjaan film hasil P2M skema Penelitian Penciptaan dan Penyajian Seni (P3S) 2020 yang kembali terinspirasi dari karya Raden Ronggowarsita, yaitu Serat Centhini.

Bahkan, pandemi Covid-19 berhasil memberikannya inspirasi untuk membuat “Morning Coffee” yang bercerita tentang bagaimana seorang wanita menyikapi pandemi Covid-19 dengan tetap berdiam diri di rumah. Film pendek ini justru ia kerjakan selama work from home dan saat ini sedang dalam proses kurasi di beberapa festival film tari bertema Covid-19.

Di akhir perbincangan, Dr. Deny menyampaikan harapannya terkait film tari di Indonesia yang kaya akan seni budaya, khususnya tari tradisional. Ia berharap agar semakin banyak pembuat film dan koreografer yang memiliki kesadaran untuk mengkreasi potensinya ke dalam bentuk film tari.

“Bayangkan jika itu terwujud, berapa banyak film tari yang dihasilkan Indonesia dengan beragam karakternya. Hal itu tentu sangat menarik. Dan karena film merupakan media populer yang lebih mudah diterima semua golongan, mungkin melalui film tari, film-film Indonesia lebih bisa berbicara di forum global. Itu harapan saya,” tutup Dr. Deny. Humas UNS/Kaffa

Skip to content