Dewan Profesor UNS Gali Nilai Pancasila Berbasis Kearifan Lokal

Dewan Profesor UNS Gali Nilai Pancasila Berbasis Kearifan Lokal
Dewan Profesor UNS Gali Nilai Pancasila Berbasis Kearifan Lokal

UNS — Dewan Profesor Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menyelenggarakan webinar bertajuk “Penggalian Nilai-Nilai Pancasila Berbasis Kearifan Lokal”. Digelar melalui Zoom Cloud Meetings dan siaran langsung kanal YouTube UNS, webinar tersebut diikuti 340 peserta dan 45 pemakalah pada Kamis (25/3/2021).

Hadir memberi sambutan, Prof. Jamal Wiwoho selaku Rektor UNS mengatakan, nilai-nilai luhur Pancasila adalah kearifan masyarakat yang memiliki keampuhan menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat istiadat dalam ikatan kebersamaan. Ikatan itu dilandasi dengan prinsip-prinsip saling menghormati dan saling menghargai.

Prof. Jamal pun meyakini, komitmen UNS sebagai Benteng Pancasila sangat tepat. UNS akan terus menerus meniupkan ruh Pancasila dan mewujudkan kehidupan kampus yang sejuk serta toleran.

Dewan Profesor UNS Gali Nilai Pancasila Berbasis Kearifan Lokal

“Saya yakin rumah besar kita yang bernama UNS ini akan mampu menggelorakan semangat kehidupan yang humanis dengan berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat UNS. Saya yakin, dengan local wisdom tersebut mampu menyatukan berbagai macam kemajemukan di bumi nusantara ini,” ujar Prof. Jamal.

Ketua Dewan Profesor UNS, Prof. Suranto, M.S., Ph.D. mengatakan bahwa kemajuan teknologi yang telah mendorong kita ke kancah internasional, seyogyanya tidak serta merta membuat lupa untuk berpegang teguh terhadap budaya-budaya Indonesia. Pancasila sebagai pandangaan hidup bangsa pun dapat dipandang dengan sedemikian luas dan dari berbagai sudut pandang.

Oleh karena itu, webinar yang diketuai Prof. Leo Agung S ini mengundang empat pembicara untuk menggali nilai-nilai Pancasila dari perspektif keilmuan masing-masing. Yakni Prof. Wimboh Santoso (Ketua Dewan Komisioner OJK) yang menyampaikan dari perspektif ekonomi dan bisnis, Prof. Hariyono (Wakil Kepala BPIP) menyampaikan nilai-nilai Pancasila sebagai penguat karakter, Prof. Chatarina Muryani (Kepala PSB UNS) dari perspektif sains dan teknologi, serta Prof. Andrik Purwasito (Kaprodi S3 Kajian Budaya UNS) dari perpektif sosial budaya.

Pada kesempatan ini, Prof. Hariyono menyampaikan bahwa seyogyanya sebagai warga negara, kita menjadikan Pancasila sebagai basis dan orientasi karakter bangsa. Sebab, sejatinya Pancasila sedari awal ingin mengubah mentalitas bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka di mana dalam perwujudannya dibutuhkan transformasi karakter.

Dewan Profesor UNS Gali Nilai Pancasila Berbasis Kearifan Lokal

Prof. Hariyono pun menyinggung sesanti Jong Java dengan nama awal Tri Koro Dharmo dan tiga tujuan mulianya yakni sakti, bakti, dan budi. Untuk menjadi bangsa merdeka, maka mereka harus sakti. Artian sakti dalam hal ini ialah harus menguasai Iptek agar tidak kalah dengan para penjajah yang mampu menguasai Jawa karena unggul dalam Iptek.

Namun, imbuhnya, penguasaan Iptek tidak akan membuahkan hasil kalau tidak dibentuk dengan baik menggunakan budi pekerti. Orang yang cerdas dan berbudi pun baru ‘berbuah’ jika mengabdi kepada bangsa dan negaranya.

“Faktanya ketika kita dijajah, kita tidak hanya kehilangan aset ekonomi, kehilangan para pemimpin dan pejuang yang mati, tetapi yang paling utama adalah hilangnya karakter bangsa. Kehilangan penegasan diri bahwa kita sebenarnya adalah bangsa besar. Krisis identitas ini tidak mungkin diselesaikan tanpa nilai,” jelas Prof. Hariyono.

Senada dengan Prof. Hariyono, dari perspektif sosial budaya, Prof. Andrik menyoroti bagaimana teknologi dan informasi saat ini menyediakan pasar informasi yang sifatnya macam-macam. Mulai dari ekonomis, ekologis, hingga yang bersifat kebiasaan-kebiasaan.

Dengan demikian, tambah Prof. Andrik, bangsa Indonesia mendapat terpaan yang luar biasa di era global ini. Terlebih, untuk memberi informasi, mengenalkan nilai, dan masuk ke wilayah penduduk Indonesia hanya cukup dari kamar-kamar melalui pembuatan beragam situs dan informasi di internet. Tanpa permisi, informasi itu pun sampai di masyarakat.

“Informasi tersebut terkadang bersifat hiperialitas, yang sebenarnya hanya beberapa persen saja yang nampak di realitas. Kita cenderung mengapresiasi apa adanya. Apa yang kita dapat adalah informasi yang paling benar,” kata Prof. Andrik. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content