Dosen UNS Bicara Literasi Digital

UNS — Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia meluncurkan program Literasi Digital Nasional yang bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.

Literasi digital bukan sekadar kemampuan untuk mengoperasikan suatu teknologi pada kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, juga meliputi tuntutan untuk dapat bertanggung jawab ketika menggunakannya.

Dr. Triana Rejekiningsih, M.Pd., Kepala Program Studi (Prodi) S2 Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, pun menuturkan bahwa salah satu tantangan di era digital ini ialah banyaknya konten negatif di media digital.

Penyikapan kurang baik juga sering kali diberikan oleh warganet Indonesia terkait hal tersebut. Berdasarkan Laporan Digital Incivility Index 2021, Indonesia menempati posisi paling rendah—yang artinya, tingkat ketidaksopanan warganet Indonesia paling tinggi di Kawasan Asia Tenggara.

Dr. Triana menjelaskan, penggunaan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama serta demi meningkatkan kualitas kemanusiaan.

Oleh karena itu, sangat penting adanya etika digital sebagai bentuk perilaku individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiket) dalam kehidupan sehari-hari

“Sehingga bisa memiliki kesadaran, tanggung jawab, integritas dan kebajikan dalam melakukan aktivitas digital. Mari belajar bersama agar Makin Cakap Digital,” jelasnya dalam Webinar Literasi Digital bagi Tenaga Pendidikan dan Anak Didik di Era Pendidikan Online Kabupaten Wonogiri, Kamis (24/6/2021).

Dalam kegiatan yang merupakan seri Webinar Indonesia #MakinCakapDigital gelaran Kominfo, Japelidi, dan Siberkreasi tersebut, Dr. Triana mangatakan tantangan lain pada era digital ialah munculnya keragaman kompetensi setiap individu yang bertemu di ruang digital.

Ada generation gap yang menunjukkan perbedaan perilaku antara native generation dan migrant generation dalam kecakapan digital. Hal ini membawa konsekuensi perbedaan dalam berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di ruang digital.

Salah satu bidang yang mengalami tranformasi digital ialah pendidikan. Terlebih pada masa pandemi yang mengharuskan adanya adaptasi baru menggunakan berbagai fasilitas internet untuk pembelajaran daring.

“Kita mengalami transformasi yang luar biasa, masuk ke ranah kehidupan kita sehari-hari. Kita harus memahami bagaimana transformasi pendidikan itu sehingga bisa menyiapkan diri kita menjadi warga yang cakap digital,” tutur Dr. Triana.

Pilar Adaptasi

Selain Dr. Triana, pada kesempatan tersebut hadir pula Dr. Akhmad Ramdhon, S.Sos., M.A., Dosen Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNS. Dr. Akhmad menuturkan, ruang-ruang kita saat ini sudah tidak kolektif lagi. Akan tetapi, sudah sangat privat karena hadirnya teknologi yang semakin cerdas dan praktis.

Hal ini akhirnya memberi ruang refleksi bersama, apa yang sebenarnya sedang terjadi di ruang-ruang kita (red: masyarakat). Masyarakat berubah dan perubahan yang dialami bukan hanya situasi di ruang-ruang keluarga, tetapi berubah secara global dan terjadi di semua tempat.

“Dalam proses perubahan ada tiga tahap. Global, nasional, dan ujung-ujungnya mengubah ruang-ruang privat kita,” ujarnya.

Dr. Akhmad Ramdhon menambahkan, upaya transformasi proses analog ke digital pada akhirnya akan mengubah kebudayaan kita. Ada empat pilar yang harus diperhatikan dalam adaptasi perubahan-perubahan tersebut.
Pertama, budaya digital mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan kita yang dilandaskan pada identitas kebangsaan yaitu Pancasila, kebhinekaan, toleransi, keberagaman, kerukunan maupun keadilan.

Kedua, budaya digital mesti menjadi bagian dari upaya melestarikan kebudayaan lokal dengan sema bentuk, kearifan lokal, keragaman identitas, promosi seni budaya, hingga merawat perbedaan.

Ketiga, budaya digital mengharuskan kemampuan untuk menjaga hak-hak digital bagi anak, bagi perempuan, maupun inividu yang mempunyai keterbatasan atau inklusif. Keempat, budaya digital juga menuntut sikap positif untuk cerdas berekspresi, mengelola data dan informasi publik dan privat, maupun berpartisipasi promosi hal-hal positif.

“Saya sangat mengapresiasi anak muda yang mempromosikan hal-hal positif. Misalkan membuat karikatur tenaga medis yang tetap berjuang, diinovasikan sebagai sebuah kampanye positif,” kata Dr. Akhmad Ramdhon. Humas UNS

Reporter: Kaffa Hidayati
Editor: Dwi Hastuti

Skip to content