UNS Kembali Tambah Tiga Guru Besar

UNS  Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta kembali menambah tiga guru besar baru. Ketiga Guru Besar tersebut yaitu Prof. Dr. Suciati, M.Pd dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Prof. Dr. Leo Agung S., M.Pd dari FKIP dan Prof. Dr. Istadiyantha, M.S dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Prof. Dr. Suciati, M.Pd akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Pendidikan IPA FKIP UNS, Dr. Leo Agung S., M.Pd akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan FKIP UNS dan Prof. Dr. Istadiyantha, M.S akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Kajian Timur Tengah. Prof. Dr. Suciati, M.Pd merupakan Guru Besar ke-204 UNS dan ke-60 pada FKIP, Prof. Dr. Leo Agung S., M.Pd merupakan Guru Besar ke-205 UNS dan ke-61 FKIP dan Prof. Dr. Istadiyantha, M.S merupakan Guru Besar ke-206 UNS dan ke-23 FIB.

Mereka bertiga akan dikukuhkan sebagai Guru Besar UNS pada Selasa (5/11/2019) di Auditorium G.P.H Haryo Mataram UNS. Dalam sidang pengukuhan Guru Besar besok, Prof. Dr. Suciati, M.Pd akan membacakan pidato pengukuhan dengan judul “Teknik Scaffolding pada Pembelajaran IPA Berorientasi Inkuiri: Implikasinya terhadap Kemampuan Berpikir Ilmiah”. Judul ini diangkat dengan pertimbangan bahwa sebagaimana tertuang dalam kurikulum serta capaian standar proses yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bahwa pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ditujukan untuk membekali peserta didik tentang pengetahuan IPA yang diperoleh melalui metode ilmiah dengan cara penemuan (inkuiri) dimana peserta didik membangun konsep melalui pengalaman dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya secara mandiri. Hal ini mengandung makna bahwa pembelajaran IPA tengah mengalami transisi paradigma pembelajaran, dari sekadar transfer of knowledge yang berpusat pada guru (teacher centered) menuju pembelajaran yang berorientasi penemuan (inkuiri) yang berpusat pada peserta didik (student centered). Perubahan paradigma tersebut merupakan proses panjang dan kompleks yang penuh rintangan dan tantangan, sehingga perlu kesiapan seluruh komponen pembelajaran.

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu sebuah inovasi pembelajaran berupa teknik pembelajaran yang tepat, agar peserta didik tidak mengalami hambatan dalam membangun pengetahuannya selama proses pembelajaran. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tingginya tingkat kesulitan peserta didik dan guru dalam menerapkan pembelajaran IPA berorientasi inkuiri menjadi pendorong untuk dilakukan penelitian ini. Hasil penelitian Belgin, et al. (2005) menunjukkan bahwa karakteristik pembelajaran berorientasi inkuiri sangat kompleks, sehingga implementasinya dalam pembelajaran seringkali menimbulkan hambatan baik bagi guru maupun peserta didik. Utamanya pada pembelajaran di kelas besar, umumnya peserta didik  belum  siap  berinkuiri  terutama  di  aspek  pengontrolan  yang  masih lemah. Karenanya untuk memudahkan peserta didik dalam berinkuiri, peserta didik membutuhkan bantuan.

“Teknik scaffolding adalah dukungan atau bantuan sementara yang diberikan guru kepada peserta didik untuk menyelesaikan tugas-tugas atau permasalahan. Dukungan atau bantuan bisa diberikan dalam berbagai bentuk dan cara dan akan dilakukan pengurangan/ dihentikan ketika peserta didik sudah mampu menyelesaikan permasalahan sendiri atau mampu mengambil alih tanggung jawab dalam pembelajaran. Menurut Herber (1993) bantuan yang diberikan dihentikan, ketika peserta didik telah memiliki pemahaman yang permanen. Scaffolding dapat diberikan dalam berbagai bentuk yang antara lain melalui pemberian pemodelan atau peragaan perilaku tertentu), pemberian penjelasan, mengajak peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran, verifikasi dan klarifikasi terhadap pemahaman peserta didik serta mengajak peserta didik berkontribusi melalui petunjuk atau kata kunci,” terang Prof. Dr. Suciati, M.Pd di sela-sela acara Jumpa Pers yang digelar di Goela Kelapa Solo, Kamis (31/10/2019).

Sementara itu, Prof. Dr. Leo Agung S., M.Pd akan membacakan pidato pengukuhan dengan judul “Pendidikan Karakter sebagai Fondasi Keterampilan Abad 21 (5CS Super Skills)”. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen penge- tahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Lickona (2000), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Sedangkan Prof. Dr. Istadiyantha, M.S akan membacakan pidato pengukuhan dengan judul “Pemaknaan Baru Terhadap Hubungan Indonesia – Timur Tengah dalam Rangka Menyongsong ERA 5.0”. Maksud dari studi ini adalah membuka peluang untuk mencari makna baru dari hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah, bukan lagi bersifat oposisi biner, seperti baik–buruk dan hitam-putih, tetapi dicari warna dan makna lain yang positif. Sering orang memaknai terhadap sesuatu objek hanya berdasar kepada makna yang beku, makna yang statis, dan terkesan monoton. Dekonstruksi mencoba menawarkan makna baru dengan reaktualisasi, redifinisi, dan atau reinterpretasi. Naskah pidato ini akan diketengahkan tentang “Pemaknaan baru’ terhadap hubungan Indonesia dengan Timur Tengah. Upaya untuk meningkatkan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah memerlukan pemaknaan baru. Pemaknaan ini diupayakan dicari makna-makna yang lazim dilakukan, artinya selalu dicari sisi positif dari makna-makna yang selama ini terpendam. Teori dekonstruksi memberi peluang untuk melakukan pemaknaan baru. Sehingga, publik opini yang sering meng-generalisasi bahwa bahwa selain daerah-daerah di Timur Tengah itu sebagai daerah religius dan pendidikan, dapat ditemukan zona-zona alternatif dari hasil pemetakan wilayah Timur Tengah.

“Guna menyongsong Era 5.0 atau Society 5.0 dengan tema Humanisme, Indonesia dan Timur Tengah berkesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk humanisme yang akan dikontribuikan dalam era tersebut. Humanisme yang dikembangkan harus terkontrol oleh tiga hal yaitu: antroposentris, ekosentris, dan teosentris,” ujar Prof. Dr. Istadiyantha, M.S. *HUMAS UNS

Skip to content