Hukum Negara Harus Menerima Sanksi Adat

SOLO – Vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri terhadap kasus tindak pidana adat belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat adat. Pasalnya, masih banyak ditemui hakim yang berpandangan tidak realistis sehingga pidana yang diputuskan tidak sesuai dengan tujuan pemidaan.

Hal itu diungkapkan Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH., doktor ke-61 yang dihasilkan Universitas Sebelas Maret (UNS) usai mempertahankan disertasinya dengan judul Penjatuhan Sanksi Adat dalam Pencapaian Tujuan Pemidaan dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana, Selasa (29/1/2013) di gedung Rektorat kampus setempat.

Suartha mencontohkan, banyak kasus pelanggaran hukum adat yang seharusnya si terpidana tidak perlu ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (LP) untuk menjalani masa hukumannya. Sebab, sanksi adat tujuannya tidak untuk memberikan penderitaan tetapi untuk rehabilitasi dan upaya menetralisasi goncangan yang ditimbulkan karena pelanggaran hukum adat.

Memasukkan terpidana ke dalam LP justru menimbulkan dampak yang lebih buruk. “Ada anggapan di masyarakat yang mengatakan kalau seseorang keluar dari LP bukan menjadi pribadi yang lebih baik melainkan menjadi lebih baik kejahatannya,” tutur Suartha, berseloroh.

Menurut hasil penelitiannya, papar Suartha, banyak hakim yang belum paham dengan keadaan masyarakat yang heterogen. Kondisi itu berdampak pada munculnya diskriminasi dalam penerapan sanksi pada warga adat yang juga warga negara itu.

“Ada warga adat yang melakukan pelanggaran dijatuhi sanksi adat sekaligus pidana oleh peradilan negara. Selain itu, ada pula yang hanya dijatuhi pidana oleh peradilan negara saja,” ungkapnya.

Ia berpendapat, seorang warga adat yang melakukan pelanggaran tak seharusnya menerima sanksi ganda baik hukum negara maupun hukum adat.

Suartha menilai, pelu dilakukan pembaharuan hukum pidana dengan orientasi pendekatan pada kebijakan dan nilai. Hakim harus berani melepas kacamata undang-undang semata sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim wajin menggali, mengikuti, dan mehamami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[]

Skip to content