Dra. Sri Hartini, M.Si. : Berjuang untuk Masyarakat Tradisi

Sri Hartini

Keberuntungan datang kepada perempuan asal Wonogiri ini ketika ia dinyatakan lulus dari Universitas Sebelas Maret, 31 tahun silam. Setidaknya, satu langkah berhasil ia capai untuk mengejar cita-citanya yang sederhana, sebagai pegawai negeri. “Kuliah di UNS saja sudah sangat beruntung, namanya juga dari daerah,” kenang perempuan asal Wonogiri ini. Lulus dari jurusan Filsafat Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Sri Hartini, nama perempuan itu, kini menjabat sebagai Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Ditjenbud, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Alumni UNS, Dra. Sri Hartini, M.Si.
Alumni UNS, Dra. Sri Hartini, M.Si.

Pencapaian saat ini ia tempuh melalui perjalanan panjang dan kesabaran. Siapa sangka, Sri pernah menjadi sekretaris para artis di Taman Ismail Marzuki. Sebagai perempuan muda dari daerah yang selalu memegang teguh pesan ayahandanya, awalnya Sri ragu ketika ada orang yang menawari pekerjaan sewaktu ia mengantre pembuatan kartu kuning di Jakarta. “Bapak selalu bilang waspada kepada orang asing. Ini malah ada orang yang menawari pekerjaan. Katanya susah mencari pekerjaan, saya malah ditawari pekerjaan,” ujarnya membuka kenangan di awal karir. Meski ragu, keesokan harinya, Sri pergi ke kantor yang dimaksud dan diterima tanpa memasukkan surat lamaran. Saat itu, ia berpikir tak ada salahnya mencoba sembari menunggu formasi penerimaan pegawai negeri dibuka. Perkerjaannya saat itu mengatur jadwal para artis termasuk mengurus perjalan ke luar negeri saat akan pentas.
Setahun kemudian, lowongan pegawai negeri dibuka. Ada salah satu formasi yang membutuhkan satu sarjana filsafat. “Saya mendaftar saja, yang penting ada filsafat-filsafatnya. Dan saat itu saingan berat dari lulusan UGM yang sudah menjadi pegawai honorer pula,” tutur Sri. Terdengar dari suaranya, ia tersenyum mengingat begitu percaya dirinya pada waktu itu. Perempuan kelahiran 25 Juli 1960 ini mengikuti hampir semua tahapan seleksi. Sampai pada tahapan screening, ia ditanya oleh penguji tentang kealpaannya di tahap sebelumnya. Sri berdalih, biasanya calon yang sudah pernah menjadi pegawai honorer mempunyai peluang lebih besar. Rupanya, dugaan Sri salah. Di hari pengumuman, terdapat nama Sri Hartini yang berarti dirinya dinyatakan lolos sebagai pegawai negeri. “Saat itu saya tidak tahu dan tidak ada gambaran seperti apa pekerjaan yang akan saya hadapi. Yang penting lolos,” kelakar Sri.
45-Dra. Sri Hartini, M.Si.
Sri Hartini, perempuan asal Wonogiri ini pernah menjabat sebagai Kasi Dok-Pus Kementerian Pendidikan Nasional (1995); Kasi Sosialisasi NIL Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2001); Kasi Kajian dan Sosialisasi, Kemenbudpar(2002); Kabid Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Kemenbudpar (2003); Kasubdit Kelembagaan, Kemenbudpar (2003); kabag kepegawaian dan Organisasi Kemenbudpar (2009); dan Kabag Hukum dan Kepegawaian, Ditjenbud, Kemendikbud (2012). Yang terakhir, sejak Februari 2014 ia menjabat sebagai Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Ditjenbud, Kemendikbud hingga kini.

Berhubungan dengan pekerjaannya saat ini, Sri bersentuhan dengan masyarakat tradisi, komunitas adat, organisasi kepercayaan dan mengurusi tentang kepercayaan lokal, serta nguri-uri tradisi. “Berbicara tradisi itu, berarti bicara tentang upacara, perilaku, norma, pengobatan bahkan hingga pakaian,” terang Sri. Kelompok Samin, Badui, Marapi adalah contoh garapan pekerjaan Sri saat ini. Bagi Sri Hartini, tantangan dalam pekerjaannya justru datang dari masyarakat dan pemerintah lokal bukan dari objek sasaran. “Bagaimanapun kita tidak bisa memaksakan sebuah kepercayaan. Membuat masyarakat sekitarnya mengerti, itulah yang sulit. Memaksa, berarti melanggar undang-undang,” ujarnya menjelaskan. Sri menambahkan, dalam sebuah tradisi, ada tradisi yang bisa dilestarikan ada yang tidak. Begitu juga tradisi kemarin, sekarang dan yang akan datang harus dipikirkan keberlangsungannya. “Yang saya perjuangkan saat ini adalah bagaimana masyarakat tradisi dan daerah terpencil yang terdiskriminasi harus dilayani oleh pemerintah,” ujarnya dari ujung sambungan telepon.
Bekerja membawa almamater. Itulah salah satu pegangan Sri Hartini dalam bekerja. “Kadang ketika ada suara-suara tidak enak, saya mengingatkan kepada rekan bahwa kita membawa nama almater. Tingkah laku dalam bekerja harus diperhatikan,” terangnya. Selain itu, menganggap pekerjaan sebagai amanah adalah kunci lain yang membuat setiap langkahnya terasa ringan karena ikhlas. Di awal karirnya, Sri harus melaju dari Bekasi ke Jakarta menggunakan vespa kesayangan. Perempuan tangguh ini berujar, ”Perjuangan hidup di Jakarta itu berat, enak hidup di Solo.”
Pencapaiaan saat ini, tak lepas dari dukungan keluarga. Untuk memenuhi pekerjaannya, tak jarang Sri Hartini harus ke daerah-daerah di seluruh pelosok Indonesia. Dukungan keluarga yang mengalir kepadanya, membuat Sri ringan mengemban tugas ini sebagai amanah. “Ibu adalah pendidik yang pertama dan utama. Ayah itu nomor dua. Begitu yang kami terapkan di keluarga,” ujar Sri tak lupa tentang keluarganya. Bagi ibu tiga anak ini, pendidikan diawali dengan disiplin. Pendidikan agama juga diterapkan sedini mungkin kepada anak-anaknya. Saat ia dan suami bekerja, ada asisten rumah tangga yang membantu mengawasi anak-anaknya. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama 24 tahun di keluarga Sri bahkan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarganya.
Berbicara tentang almamaternya, Sri Hartini merasa bangga atas pencapaian UNS hingga saat ini. Di dunia kerja, lulusan UNS sudah terbukti mampu bersaing dengan lulusan universitas bonafit lainnya. Banyak lulusan UNS yang menduduki posisi penting di perusahaan besar maupun pemerintahan. Banyak pula lulusan yang mengabdi sebagai akademisi. “Semoga UNS mampu mencetak manusia yang unggul dan berkarakter,” harap Sri.[*]

Skip to content