Riset dan Budaya Akademik Sebagai Modal Universitas Sebelas Maret Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Diawal tahun 2016 ini, persaingan menuju masyarakat yang mampu bersaing tak boleh diterima sebagai hal sepele, melainkan sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan.

Selain gaduhnya berita freeport, sejatinya ada perdebatan tentang seberapa siap Indonesia menghadapi MEA. Namun, hal tersebut merupakan perdebatan yang salah arah. Siap atau tidak siap, era MEA harus dihadapi, sehingga kesiapan bukanlah menjadi isu utama. Sebenarnya, sejak munculnya niat untuk melaksanakan kawasan ekonomi terpadu dalam Bali Concorde II tahun 2003 dan ditegaskan pada KTT ASEAN ke-12 tahun 2007 yang menghasilkan kesepakatan untuk percepatan terwujudnya MEA di tahun 2015[1], kita praktis memiliki 12 tahun untuk mempersiapkan diri.

Jika sebelumnya kesalahan-kesalahan kecil dapat ditoleransi, kedepannya, Indonesia tidak boleh menganggap remeh kesalahan karena pesaing lintas negara akan menawarkan kualitas produk yang lebih serius. Pilihannya adalah kita akan menjadi raja di negeri orang atau tamu di negeri sendiri.

Berbicara mengnai proses, Indonesia alangkah baiknya melihat dari cermin retak sejarah. Kita dapat melihat keterkaitan nasib Indonesia dengan Jepang dan Korea Selatan. Ketiga negara memulai dari nol karena sama-sama rusak parah pasca Perang Dunia II dan sama-sama harus memulai lembaran baru sesudah Agustus 1945.

Bedanya, Jepang mengalami kehancuran akibat perang yang dimulainya sendiri sebagai penjajah, sedangkan Korea Selatan adalah negara yang dijajah Jepang jauh lebih lama dibandingkan Indonesia.

Jepang dihancurkan oleh bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki. Seketika itu pula Korea Selatan langsung menyatakan kemerdekaannya. Indonesia baru bisa menyatakan kemerdekaan dua hari sesudahnya.

Meski di bawah pengawasan Amerika Serikat, Jepang-yang tak memiliki sumber daya alam apa pun-mampu menggenjot kembali dunia industri dan otomotifnya. Hanya dalam waktu lima tahun (awal 1950-an), barang-barang produksinya sudah membanjiri pasar dunia[2].

Tahun 1964, mereka telah mampu menyelenggarakan Olimpiade Tokyo dan membangun kereta api tercepat dunia (Shinkansen). 25 tahun setelah kehancurannya, pendapatan nasional bruto (PNB) Jepang sudah sama dengan jumlah PNB Inggris dan PNB Perancis.

Korea Selatan berkat pergerakan cepat dan masifnya di bidang teknologi informasi berbasis internet, negeri ini tengah mengepakkan sayap untuk berbicara banyak di kancah dunia. PNB Korea Selatan 20.870 dollar AS. Sedangkan Indonesia kini ada di kisaran PNB 2.963 dollar AS. Mengapa bisa terjadi demikian? Menurut Samuel P Huntington, ”budaya memainkan peran besar”[3].

Baca selengkapnya : Riset dan Budaya Akademik Sebagai Modal Universitas Sebelas Maret Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Penulis: Egy Adhitama
Beri Like jika kamu sepakat dengan ide Egy Adhitama

Skip to content